Pengadilan Adat Papua, Bentuk Pengakuan Terhadap Living Law
Berita

Pengadilan Adat Papua, Bentuk Pengakuan Terhadap Living Law

Masuknya klausul ‘hukum yang hidup dalam masyarakat' ke dalam Rancangan KUHP mempertegas pengakuan terhadap peradilan adat.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Adat Papua, Bentuk Pengakuan Terhadap <i>Living Law</i>
Hukumonline

 

Pengakuan terhadap living law khususnya peradilan adat, dituangkan  dalam perundang-undangan. Misalnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pasal 50 menegaskan bahwa disamping badan peradilan umum, Pemerintah mengakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.

 

Berdasarkan UU Otsus Papua tersebut, peradilan adat merupakan peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat yang berwenang memeriksa perkara perdata dan pidana.

 

Dalam praktek, keputusan peradilan adat bisa menimbulkan masalah. Bagaimana kalau salah satu pihak tidak menerima keputusan peradilan adat? Apakah ada saluran hukum lain yang bisa ditempuh? Putusan Mahkamah Agung dalam perkara nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, menegaskan bahwa putusan peradilan adat yang telah dilaksanakan terdakwa mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan peradilan umum. Kalau perkara itu diajukan lagi ke peradilan umum (pengadilan negeri), itu sama saja dengan ne bis in idem.

 

Berdasarkan ketentuan pasal 51 ayat (4) UU Otsus Papua, jika salah satu pihak keberatan atas putusan peradilan adat, ia berhak membawa perkara itu ke badan peradilan umum untuk diperiksa ulang. Ketentuan ini juga membuat syarat, peradilan adat tidak boleh menjatuhkan hukuman pidana berupa penjara atau kurungan. 

 

Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat  menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.

Eksistensi peradilan adat menjadi bagian dari perdebatan seputar kalimat ‘hukum yang hidup dalam masyarakat' (living law). Kalimat itu dituangkan dalam pasal 1 ayat (3) Rancangan KUHP baru yang disiapkan Departemen Hukum dan HAM. Masuknya kalimat tersebut dikhawatirkan akan menabrak asas legalitas yang dianut KUHP, sekaligus mengaburkan larangan menggunakan analogi.

 

Tetapi, pengakuan terhadap hukum adat sebagai living law sulit dihindari. Anggota tim penyusun Rancangan KUHP Prof. Indriyanto Seno Adji menunjukkan fakta masih adanya hukum adat yang hidup dalam masyarakat tertentu. Papua adalah salah satu contoh.

 

Contoh lain dimana hukum adat masih kuat adalah Bali. Hasil penelitian Pengadilan Tinggi Denpasar tahun lalu menguatkan hal itu. Penelitian berusaha menggali masalah-masalah hukum perdata adat yang masih berlaku di Pulau Dewata tersebut. Antara lain difokuskan pada hubungan anak, orang tua dan wali, status anak angkat, perkawinan dan harta perkawinan, warisan, persekutuan perdata, pinjam meminjam, jual beli, sewa menyewa, titipan, hibah hingga pengangkutan.  

 

Indriyanto mengakui dalam penyusunan RUU KUHP hingga sosialisasi, masalah living law telah menjadi perdebatan ilmiah, terutama jika dikaitkan dengan asas legalitas dan larangan menggunakan analogi.

 

Dalam draft position paper yang disusun Fajromei A Gofar (Elsam) untuk kepentingan diskusi kelompok RUU KUHP, Selasa (23/08), disebutkan bahwa the living law sering diidentikkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, hukum lokal, hukum asli, hukum pribum, bahkan ada yang memasukkan hukum agama.

Tags: