Advokat Akan Dilarang Merangkap Profesi
Berita

Advokat Akan Dilarang Merangkap Profesi

Jakarta, hukumonline. Para pejabat, termasuk anggota DPR, yang juga berprofesi sebagai advokat tidak akan lagi dapat merangkap profesi. Mereka harus memilih, menjadi advokat atau pejabat negara pada tahun depan.

Rfl/Apr
Bacaan 2 Menit
Advokat Akan Dilarang Merangkap Profesi
Hukumonline

Jika Undang-undang tentang Profesi Advokat diberlakukan pada 2001, agaknya profesi ganda antara advokat dan pejabat tidak ada lagi. Namun, aturan mengenai hal ini memang masih berubah dan bisa diperdebatkan.

Dalam draf terakhir yang diajukan ke DPR RUU Profesi Advokat Pasal 19 (1) disebutkan: "Advokat dilarang memegang jabatan lain yang merugikan kebebasannya serta mengurangi martabat Profesi Advokat."

Dari aturan ini, profesi advokat sepertinya dilarang menjabat profesi lain yang mengurangi kredibilitasnya sebagai advokat. Jika demikian, bolehkah anggota advokat merangkap jabatan untuk posisi yang "terhormat"?

Pernyataan ini pernah dilontarkan oleh anggota DPR yang kebetulan berprofesi advokat. Anggota DPR ini tidak merasa bersalah melakukan jabatan rangkap. Karena menurutnya, jabatan sebagai anggota DPR merupakan jabatan sangat terhormat karena mewakili rakyat.

Namun pernyataan anggota DPR tadi tidak berlaku lagi jika mengacu kepada RUU Profesi Advokat Pasal 19 (2). Bunyi dari pasal ini adalah: "advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat ataupun mengurangi kebebaan dan kemerdekaan dalam melakukan profesinya."

Etika profesi

Frans Hendra Winata, anggota Dewan Pakar BPHN Badan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) berpendapat, sebenarnya larangan jabatan rangkap itu terkait dengan etika profesi.

Frans yang ikut terlibat dalam penggodokan RUU ini melihat tidak mungkin advokat memilliki profesi lain, apalagi sebagai pejabat negara. Persoalannya adalah menyangkut pembagian alokasi waktu. "Kalau jabatannya rangkap, dia tidak bisa meluangkan waktu untuk pekerjaannya secara penuh."

Menurut Frans, sebagai profesional, seorang advokat harus mencurahkan waktu sepenuhnya untuk kliennya. Sementara sebagai anggota DPR, misalnya, harus mengabdi kepada rakyat.

Frans menambahkan jika ada anggota DPR yang menjadi advokat, yang salah bukanlah profesi advokatnya, melainkan jabatannya itu. Oleh karena itu pimpinan lembaga tinggi yang bersangkutan lah mestinya yang mengingatkan atau memberhentikan seseorang yang memiliki jabatan rangkap.

Masalah ini memang tidak mudah karena seperti anggota DPR itu sebelum menjadi anggota Dewan sudah memiliki usaha atau jabatan. Haruskah profesi atau usahanya ditutup yang dapat mengurangi jarah periuknya? Apalagi ketentuan di DPR memang membolehkan anggota Dewan untuk memiliki pekerjaan atau profesi lain.

Jika anggota DPR tersebut harus menutup usahanya atau berhenti sebagai advokat, bisakah pemerintah menjamin usahanya jalan kembali jika ia tidak lagi menjabat sebagai anggota Dewan? Ini memang dilema yang tidak mudah. Apalagi jika ia memiliki karyawan, tentu menghentikan nafkah bagi karyawan dan keluarganya.

Sebagai alternatif, anggota DPR atau pejabat negara itu melepaskan profesi advokatnya untuk sementara waktu. Hal ini dimungkinkan berdasarkan dalam Pasal 19 (3) RUU Advokat yang berbunyi:" advokat yang menjadi pejabat negara dibebaskan untuk sementara waktu dari profesinya selaku advokat selama memangku jabatan tersebut."

Conflict of interest

Berkaitan dengan ketentuan yang akan melarang advokat merangkap sebagai pejabat negara, Patrialis Akbar, anggota DPR dari Fraksi Reformasi yang juga memiliki firma hukum Patrialis Akbar SH dan Rekan hanya bersikap pasrah. "Kalau memang UU mengatakan itu, kami patuh," cetusnya kepada hukumonline.

Namun Patrialis menambahkan: "Sekarang tidak ada larangan, ya terus saja." Lagi pula, menurutnya, masing-masing organisasi profesi advokat berbeda pendapat. Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) melarang anggotanya menjadi anggota legislatif. "Karena saya bukan anggota Ikadin, tidak perlu ikut kode etik Ikadin."

Sebaliknya, masih menurut Patrialis, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) malah membolehkan anggotanya sebagai anngota legislatif karena ada keuntungannya. "Paling tidak hakim takut kalau mau minta sogokan karena kami anggota legislatif."

Nah, inilah masalahnya. Hakim atau jaksa mungkin tidak mau menerima sogokan, tetapi hakim tersebut akan melihat posisi kuasa hukum yang juga anggota DPR. "Ini akan menimbulkan conflict of interest," cetus seorang praktisi hukum kepada hukumonline.

Praktisi hukum tadi menambahkan bahwa larangan jabatan rangkap itu lebih karena conflict of interest dan bukan pada alokasi waktu. "Kalau alasannya waktu yang tidak cukup, klien  kan bisa pergi ke advokat atau kuasa hukum yang memiliki banyak waktu luang."

Kekhawatiran terhadap conflict of interest itu wajar saja. Sebab, perundang-undangan digodok di DPR. Fit and proper test juga dilakukan oleh dan di DPR. Maka, orang jadi bertanya-tanya saat Fuad Bawazier, anggota MPR dari Fraksi Reformasi, didampingi oleh kuasa hukumnya dari firma hukum Patrialis Akbar SH dan Rekan saat Fuad diperiksa sebagai saksi di Kejaksaan Agung.

Patrialis membantah kalau dirinya dapat melakukan intervensi. "Saya menjalankan secara profesional dan tidak menyalahgunakan werwenang. Yang salah kalau saya melakukan intervensi." ujarnya.

Apalagi, menurut Patrialis, secara teknis dirinya tidak terlibat langsung di firma hukumnya. "Cuma secara formal tidak mengundurkan diri. Saya masih sebagai pemilik." Sayang, RUU ini tidak membahas masalah ini.

 

 

 

 

 

Tags: