Akademisi Universitas Islam Bandung Beberkan Tantangan dan Peluang Hukum Islam Internasional
Utama

Akademisi Universitas Islam Bandung Beberkan Tantangan dan Peluang Hukum Islam Internasional

Hukum Islam belum menjadi rujukan utama majelis hakim di Mahkamah Internasional dalam ranah mengadili pelanggaran norma hukum internasional. Tapi, ke depan, ada peluang norma hukum Islam diadopsi dalam hukum internasional.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen FH Universitas Islam Bandung Eka An Aqimuddin (bawah) dalam diskusi di kanal Instagram Hukumonline bertema 'Peluang dan Tantangan dalam Implementasi serta Pengembangan Hukum Internasional Islam', Kamis (2/5/2024).
Dosen FH Universitas Islam Bandung Eka An Aqimuddin (bawah) dalam diskusi di kanal Instagram Hukumonline bertema 'Peluang dan Tantangan dalam Implementasi serta Pengembangan Hukum Internasional Islam', Kamis (2/5/2024).

Istilah Hukum Internasional sudah umum didengar masyarakat internasional. Bahkan menjadi hukum yang dominan di kancah pergaulan antar negara. Beda halnya dengan Hukum Islam Internasional (HII), mungkin hanya sebagian orang yang mengetahuinya eksis di tengah Hukum Internasional yang populer. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Eka An Aqimuddin, menjelaskan secara sederhana HII atau Siyar merupakan norma yang mengatur hubungan antara muslim dengan non-muslim.

Salah satu tokoh terkenal HII yakni Al-Syaibani yang hidup di abad ke-8 masehi. Sementara Hukum Internasional baru berkembang di abad ke-14 dan puncaknya pada abad ke-16 masehi. Siyar atau HII pada intinya merupakan praktik ketika nabi Muhammad S.A.W berinteraksi dengan kelompok non-muslim. Secara definisi, siyar merupakan norma dan kebiasaan yang dipraktikkan masyarakat pemeluk agama Islam kepada bukan Islam.

“Karena bagian dari syariah dalam fikih, maka sumber hukum HII yakni Al-Quran dan Sunnah. Serta ijtihad dalam konteks praktik yang diterapkan ketika kekhalifahan Islam,” kata Eka An Aqimuddin dalam diskusi di kanal Instagram Live bertema “Peluang dan Tantangan dalam Implementasi serta Pengembangan Hukum Internasional Islam”, Kamis (2/5/2024).

Baca juga:

Tapi setelah kekhalifahan Islam di Turki berakhir, masing-masing negara menjadi merdeka dan punya hukum domestik. Kemudian secara independen mengatur hubungannya dengan negara lain. Hal itu menjadi tantangan dalam praktik HII sampai saat ini. Tantangan lain yang dihadapi HII adalah hukum internasional belum memberikan ruang yang memadai. Selama ini hukum internasional mengklaim mengusung nilai-nilai universal, tapi dirunut dari sejarahnya, konsep, dan norma yang berlaku merupakan warisan peradaban Eropa yang ditransmisi ke negara dunia ketiga lewat kolonialisme.

Menurut Eka, salah satu minimnya ruang yang diberikan hukum internasional terhadap HII bisa dilihat dari Mahkamah Internasional. Idealnya, majelis hakim di Mahkamah Internasional dipilih berdasarkan sistem hukum mayoritas yang ada di seluruh dunia.

Tapi faktanya pemilihan hakim berdasarkan geografis, sehingga bukan mewakili sistem hukum tertentu. Sekalipun ada hakim yang beragama Islam, belum tentu paham terhadap hukum Islam. Akibatnya dalam menangani perkara internasional hukum Islam bukan acuan utama Mahkamah, tapi hanya sebagai alternatif.

Tags:

Berita Terkait