Antisipasi Kejahatan Korporasi dalam Penerapan Living Law di KUHP Baru
Terbaru

Antisipasi Kejahatan Korporasi dalam Penerapan Living Law di KUHP Baru

Penerapan Living Law akan kerap bersinggungan dalam penyelesaian sengketa yang melibatkan kegiatan pembalakan liar yang dilakukan korporasi.

CR 29
Bacaan 2 Menit
Diskusi penerapan living law dalam KUHP Baru yang digelar secara daring, Sabtu (10/2). Foto: CR 29
Diskusi penerapan living law dalam KUHP Baru yang digelar secara daring, Sabtu (10/2). Foto: CR 29

Hukum adat atau living law akan sangat mungkin bersinggungan dengan sejumlah perkara, khususnya yang melibatkan lingkungan maupun tanah pada hak ulayat. Misalnya pembukaan lahan baru yang jadi kewenangan masyarakat hukum adat. Namun tak sedikit kemungkinan pembukaan lahan atau pembalakan hutan ditunggangi aksi korporasi.

Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan Timothee K. Malye mengatakan, konsep perdamaian dalam penyelesaian sengketa adat mungkin terjadi di pengadilan pidana. Namun hal itu berbanding terbalik jika suatu tindakan pidana tertentu, dilakukan oleh korporasi dan bukan perorangan yang menjadi anggota masyarakat hukum adat.

"Terkait masalah lingkungan, praktiknya yang akan lebih banyak terjadi di lapangan seperti pembalakan hutan secara korporasi. Tentunya perlakuannya berbeda dengan hukum adat yang tidak memikirkan profit ketika membuka lahan di hutan," ungkap Timothee saat menjadi pemantik dalam diskusi penerapan living law dalam UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP baru), Sabtu (10/2/2024).

Baca juga:

Lebih lanjut, penyelesaian masalah semacam ini akan sangat memerlukan kebijaksanaan aparat penegak hukum (APH). Mengingat aksi korporasi semacam ini akan sangat rawan disalahgunakan dengan kepentingan adat setempat. "Akan sulit membedakan mana pidana adat atau bukan," kata Timothee.

Oleh karena itu, hakim perlu menggali nilai-nilai dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat (delik adat) sehingga perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum pidana adat. Dengan demikian, penegak hukum dalam menjalankan tugas profesinya dapat memprioritaskan orientasinya kepada keadilan dibandingkan kepastian hukum secara tekstual.

"Jadi bisa dipertimbangkan dengan menjatuhkan pidana adat sebagai percobaan, sebelum pengadilan menjatuhkan pidana pokok. Dengan demikian pranata hukum adat bisa menyelesaikan putusan secara restorative justice," tambahnya.

Di sisi lain, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan pemerintah setelah terbit KUHP Baru, yakni menerbitkan berbagai aturan turunan. Salah satunya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Oleh karena peran serta akademisi juga diperlukan sebagai sarana praktis untuk membantu peradilan agar tidak perkara adat secara berulang. Artinya secara empiris, perlu penyeimbang dari akademisi agar penyelesaian harmoni di masyarkat juga memberikan efek retributif dengan pidana lainnya.

"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang," tutup Timothee.

Tags:

Berita Terkait