Delik Aduan, Pasal Penghinaan Presiden Tak Boleh Multitafsir
RKUHP

Delik Aduan, Pasal Penghinaan Presiden Tak Boleh Multitafsir

Pengaturan normanya harus memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, lex stricta, dan lex praevia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi. Hol
Ilustrasi. Hol

Pemerintah kembali mengatur rumusan norma pasal penghinaan terhadap presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 2021. Padahal 2006 silam, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP telah dicabut berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Tapi, kali ini penerapan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP menjadi delik aduan dimana pihak pengadunya harus presiden sendiri.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej berpendapat pasal dalam KUHP yang dicabut dalam putusan MK berbeda halnya dengan pasal penghinaan presiden. Menurutnya, yang dicabut dalam putusan MK adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara.

“Pasal penghinaan itu adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara. Ini berbeda dengan yang sudah dicabut oleh MK,” ujar Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej usai rapat dengan Komisi III DPR di Komplek Gedung Parlemen, Senin (7/6/2021) kemarin.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada itu berpendapat pasal penghinaan kepala negara yang dicabut MK merupakan delik biasa. Namun, kata dia, semestinya melihat struktur ketatanegaraan karena presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung rakyat.

“Sementara dalam RKUHP, pasal penghinaan terhadap presiden menjadi delik aduan,” tegasnya.

Konsekuensinya, kata dia, presidenlah orang yang berhak mengadu sendiri atau memberikan kuasa kepada orang lain untuk melapor dugaan tindak pidana penghinaan ke kepolisian. Begitupula aparat penegak hukum tak dapat bergerak tanpa adanya aduan atau laporan dari presiden atau orang yang diberikan kuasa. (Baca Juga: Alasan Pemerintah Adopsi Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP)

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad berpendapat keinginan pemerintah memasukan dan menghidupkan kembali pasal yang telah dicabut MK menjadi kewenangan pembentuk UU. Namun terpenting, rumusan norma pasal tersebut mesti jelas dan tidak menimbulkan multitafsir bagi aparat penegak hukum.

“Rumusan pasal dalam hukum harus jelas dan tegas, tidak boleh ada yang bias atau multitafsir yang justru akan memunculkan masalah baru,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait