Guru Besar FH UII: Frasa 'Mengakui' dan 'Menghormati' untuk MHA Tidak Tepat
Terbaru

Guru Besar FH UII: Frasa 'Mengakui' dan 'Menghormati' untuk MHA Tidak Tepat

Frasa mengakui dan menghormati bersifat politis, lebih tepat melindungi karena memiliki konsekuensi hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH-UII), Prof Syamsudin dalam podcast bertajuk Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat, yang diunggah di kanal video daring FH-UII, Kamis (28/03/2024) pekan kemarin. Foto: Tangkapan layar youtube
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH-UII), Prof Syamsudin dalam podcast bertajuk Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat, yang diunggah di kanal video daring FH-UII, Kamis (28/03/2024) pekan kemarin. Foto: Tangkapan layar youtube

Masyarakat hukum adat (MHA) sejatinya lebih dulu ada di tanah air sebelum terbentuk pemerintah republik Indonesia. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 memandatkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam UU.

Sayangnya, sampai sekarang pemerintah dan DPR belum berhasil menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang  Masyarakat Hukum Adat. Padahal payung hukum itu penting sebagai acuan kebijakan terhadap MHA di Indonesia.

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH-UII), Prof Syamsudin sejak awal mengkritik penggunaan frasa ‘mengakui’ dan ‘menghormati’ sebagaimana Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Ketentuan itu lahir dari desakan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada era reformasi 1998.

“Kalau cuma ‘mengakui’ dan ‘menghormati’ itu untuk apa?. Ini konsepnya tidak pas, yang penting itu ‘Melindungi’ sehingga in line alinea keempat pembukaan UUD,” katanya dalam diskusi yang diunggah di kanal video daring FH-UII, Kamis (28/03/2024) pekan kemarin.

Baca juga:

Frasa ‘melindungi’ menurut Prof Syamsudin lebih tepat untuk MHA karena mereka sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Sementara konsep ‘mengakui’ atau pengakuan merupakan ide kolonial Belanda ketika berkuasa di Indonesia.

Yakni mengakui MHA sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Belanda. Cara berpikir kolonial seperti itu tak perlu dipertahankan. Begitu halnya dengan RUU MHA, diharapkan tak lagi menggunakan istilah pengakuan tapi lebih pada perlindungan. “Jadi ini bahasa politis, kalau ‘melindungi’ kan ada konsekuensi hukumnya,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait