Implementasi Living Law dalam KUHP Baru, Hakim Wajib Gali Nilai Norma Adat
Terbaru

Implementasi Living Law dalam KUHP Baru, Hakim Wajib Gali Nilai Norma Adat

Penggalian nilai-nilai norma adat untuk menyusun alasan-alasan memberatkan atau meringankan suatu tindak pidana.

CR 29
Bacaan 2 Menit
Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan Timothee K. Malye (kiri) dalam FGD  Forum Kajian Dunia Peradilan, Sabtu (10/2). Foto: CR 29
Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan Timothee K. Malye (kiri) dalam FGD Forum Kajian Dunia Peradilan, Sabtu (10/2). Foto: CR 29

Pengesahan UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) membawa sejumlah perubahan sekaligus memberikan pandangan subjektif terkait peran hukum masyarakat adat dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Mengingat sebagai masyarakat multikultural, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk aturan-aturan adat yang tentunya berbeda dengan hukum nasional. Hal itupun termaktub dalam Pasal 2 KUHP Baru mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law.

Koordinator Forum Kajian Dunia Peradilan Bagus Sujatmiko mengatakan, konteks pidana dalam Pasal 2 KUHP Baru merupakan suatu bentuk pengejawantahan kolektif dari satu masyarakat di satu wilayah tertentu mengenai cara berinteraksi dalam kesatuan masyarakat mengenai hal yang disukai maupun tidak disukai. Secara garis besar gagasan ini pun memiliki kesamaan dengan hukum nasional.

"Maka tepatnya pada 1 Januari 2026 mendatang jadi momentum penting bagi kita mempersiapkan diri dengan KUHP Baru," kata Bagus, Sabtu (10/2/2024).

Baca juga:

Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan Timothee K. Malye menilai, secara holistik penerapan living law pada KUHP Baru bisa menjadi landasan bagi hakim apakah akan memberikan pidana tambahan dalam pidana pokok atau tidak, sebagaimana hukum positif berlaku. Kendati demikian, sifat living law tidak serta merta akan melanggar legalitas hukum positif, lantaran hukum yang hidup dalam masyarakat biasanya tidak tertulis. Oleh karenanya, hakim dapat menggali nilai-nilai norma adat untuk menjadi alasan memberatkan atau meringankan suatu tindak pidana.

"Oleh karena itu, diskresinya suatu peristiwa sengketa yang melanggar norma adat bisa diselesaikan oleh pranata adat tanpa harus dibawa ke pengadilan. Ini pula yang menjadi tugas level hulu, misalnya polisi dalam menjaga kestabilan sosial di mana pidana ini perlu diselesaikan secara adat atau pengadilan," ungkap Timothee.

Hal tersebut dimungkinkan, lanjut Timothee, karena pengadilan selama ini praktiknya juga mengadopsi hukum yang hidup dalam masyarakat. Sehingga dalam menangani perkara adat yang intinya memutus terdakwa memenuhi unsur pidana atau tidak, memerlukan para pemangku adat terlebih dulu agar meminimalisasi living law di pengadilan. Pertimbangannya, para pihak dalam perkara bisa diselesaikan secara adat.

"Jadi topik ini (Living Law) perlu dielaborasi mulai dari concern apakah suatu perkara adat perlu untuk dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Jadi dari level hulu pola pikirnya juga harus menggali nilai-nilai yang berlaku saat ini, apa sudah di-perda-kan, sehingga menjadi pijakan bagi kita (majelis hakim) untuk beradaptasi dengan hukum adat dari suku di sana," paparnya.

Karena itu, terlebih dulu living law tersebut harus diformilkan dalam Peraturan Daerah (Perda). Tak hanya pidana adat, tapi kesadaran hukum masyarakat, keadilan dan kepatutan bisa digunakan untuk menjatuhkan pidana dalam konteks Pasal 66 KUHP Baru dan pedoman pemidanaan.

Tags:

Berita Terkait