Istri Siri dan Anak Tiri Masuk Lingkup Rumah Tangga
Kasus KDRT Jaksa:

Istri Siri dan Anak Tiri Masuk Lingkup Rumah Tangga

Tidak harus ada suatu ikatan resmi, yang penting tinggal dalam satu atap. Manakala terjadi tindak kekerasan, itu sudah dapat dikenakan Pasal 44 ayat (1) UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Nov
Bacaan 2 Menit
Istri Siri dan Anak Tiri Masuk Lingkup Rumah Tangga
Hukumonline

Persidangan kasus dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan seorang Jaksa berinisial PR terhadap istri (NA) dan anaknya (MAB), telah memasuki agenda replik yang pada intinya tetap pada tuntutan. Minggu lalu, PR yang tidak didampingi pengacara mengajukan sendiri pembelaannya (pledoi) dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. PR menolak tuntutan dua tahun penjara dan penahanan segera yang dimintakan penuntut umum.

 

Bukan hanya itu, PR juga menampik tudingan penuntut umum yang menyatakan bahwa dirinya terbukti melakukan KDRT ataupun kekerasan terhadap anak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) atau Pasal 80 ayat (2) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA).

 

Alasannya, PR tidak dengan sengaja melakukan kekerasan terhadap MAB. Sebelumnya, dalam uraian tuntutan penuntut umum, PR dinyatakan telah menarik dan mencekik NA karena emosi tidak menemukan dokumen-dokumen yang dicarinya. Ketika pencekikan itu terjadi, MAB berupaya melerai, tetapi malah terkena bogem mentah PR dan setelah itu ditimpa dengan alat-alat olahraga. Mengetahui MAB dalam keadaan berdarah-darah, PR malah pergi melenggang keluar kamar dan menghidupkan televisi. Selain itu, PR tidak memperbolehkan NA membawa MAB ke rumah sakit.

 

"Apa yg ditulis dalam tuntutan ngaco, tidak benar. Jelas-jelas direkayasa penuntut umum. Apa yang digembar-gemborkan dan dikatakan NA dan MAB di persidangan, saya memukul, itu tidak benar. Yang benar adalah pada saat saya tarik NA, MAB menggaet alat peninggi badan. Dimana alat peninggi badan ini menimpa ke mukanya," kata PR. Akibat benturan benda tumpul itu, MAB menderita bengkak dan robek di bagian bibir atas dan bawah.

 

Lagipula, tambah PR, MAB bukanlah anak kandungnya. MAB adalah anak hasil pernikahan NA dengan suami sebelumnya, yaitu SB. Sementara, NA juga bukanlah istri yang sah secara hukum. PR mengaku menikahi NA secara siri pada 1 Januari 2001. Sehingga, delik UU PKDRT ataupun UU PA tidak dapat dikenakan terhadap PR. "Dia (NA) sebagai istri yang saya nikahi siri dan MAB adalah anak hasil pernikahan NA dengan SB. Kalau lihat secara utuh (Pasal 44 ayat (1), itu kan berada dalam lingkup rumah tangga. Sementara yang diakui adalah pernikahan yang sah. Jadi, tidak bisa (dikenakan pasal dalam UU PKDRT tersebut)," terangnya.

 

Namun, argumen PR ini ditolak penuntut umum Januardi. Ia mengatakan apa yang diuraikan dalam tuntutan sudah sesuai fakta persidangan. Lebih dari itu, pengenaan Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT ataupun Pasal 80 ayat (2) UU PA dinilai sudah tepat. Mungkin untuk Pasal 80 ayat (2) masih terbuka kemungkinan adanya perbedaan pandangan tentang definisi anak. Apakah harus anak yang mempunyai hubungan darah atau tidak. Sementara, untuk Pasal 44 ayat (1), Januardi yakin PR tidak bisa berkelit. "Apapun statusnya, nikah resmi ataupun siri, anak kandung atau tiri, apabila terjadi perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan secara fisik, seksual, psikis, atau penelantaran, maka dapat dikenakan UU PKDRT."

 

Seperti diketahui, yang dimaksud "lingkup rumah tangga" dalam Pasal 44 ayat (1) adalah suami, istri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, serta orang yang bekerja membantu dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Sehingga, kata Januardi, "orang yang tidak mempunyai hubungan darah pun, apabila menetap dalam suatu rumah tangga, dapat dimasukan dalam kategori lingkup rumah tangga. Bisa menggunakan UU PKDRT ini".

 

Walau tidak memiliki hubungan darah dengan MAB dan hanya menikah siri dengan NA, PR hidup menetap bersama NA dan MAB. Lagipula, jika menilik Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di situ dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Dengan demikian, pernikahan PR dan NA dapat dianggap sebagai pernikahan yang sah.

 

Serang balik istrinya

Melihat akta pernikahan (PR dengan NA) dan akta kelahiran (MAB) yang diberikan NA saat pemeriksaan di tingkat Kepolisian sampai Pengadilan, PR tak terima. Pasalnya, dokumen yang diserahkan NA, dianggap PR sebagai dokumen palsu. Dari hasil investigasi ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan (tempat NA dan suami sebelumnya bercerai), PR mendapatkan akta pernikahan dan kelahiran asli. "Saya menikah siri dengan NA 1 Januari 2001. Bukan tahun 1999 seperti yang di akta. Lagipula, pada tahun 1999 itu NA itu menikah dengan SB dan baru bercerai 16 Oktober 2000," kilahnya.

 

Begitu juga dengan akta kelahiran MAB. PR mendapatkan akta asli dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan. "Jadi, saya dapat akta lahir asli dimana MAB ini adalah anak SB dengan NA yang lahir 13 Februari 1993," tuturnya.

 

Oleh karena itu, pada 23 Juni lalu, PR melaporkan NA ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP). Laporan tersebut diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Polda Metro Jaya Unit I dengan nomor penerimaan NO. POL : 1862/K/VI/2009/SPK UNIT I.

 

Sementara, kuasa hukum NA dari LBH Jakarta, Algif mengatakan bahwa tudingan pemalsuan dokumen itu adalah hal yang bohong dan tidak benar. "Karena yang mengurus pernikahan dan surat nikah PR dan NA adalah PR sendiri. Itu di Bekasi, di Jakarta Selatan, dan di Jawa Timur. Jadi, kalau dikatakan itu pemalsuan surat, justru PR sendiri yang memalsukan. Itu dikatakan oleh ibu NA," tukasnya.

Tags: