Third-Party Funding: Instrumen Pembiayaan Arbitrase Internasional oleh Pihak Ketiga
Berita

Third-Party Funding: Instrumen Pembiayaan Arbitrase Internasional oleh Pihak Ketiga

Selain pro bono, Singapura mengenal instrumen Third-Party Funding sebagai bantuan hukum yang bernilai sosial, namun berdimensi komersil.

Hamalatul Qur’ani
Bacaan 2 Menit

Kalau proyeksi kemenangan dinilai tinggi dan eksekusinya bisa dilakukan, baru kemudian tim penilai investasi menilai visibilitas funder untuk berinvestasi di kasus ini. “Kira-kira perkara ini layak investasikah dengan ongkos yang sebegini besarnya? Ongkos lain-lain seperti enforcement segini, dan nilai tuntutan segini, layakkah? Jika tim investasi sudah menilai layak, maka seluruh proses perkara akan dibiayai sepenuhnya oleh TP funder,” jelasnnya.

Selain itu, perlu diingat, setiap funder biasanya memiliki terms & condition yang berbeda-beda, sehingga pengecekan terms & condition funder target diperlukan untuk menyesuaikan dengan permohonan pendanaan. Terkadang permohonan funding juga tak selalu diterima, mengingat beberapa funder hanya akan berinvestasi pada perkara dengan nilai tuntutan tertentu. Misalnya, ada funder yang hanya ambil perkara dengan nilai minimal 10 juta dolar, 80 juta dolar atau bahkan 1,5 miliar dolar. “Jadi beda-beda funder beda-beda terms & condition-nya,” kata Kendista.

Lalu apa yang akan didapatkan founder dari pembiayaan TPF ini? Kendista menyebut tergantung TPF agreement yang ditandatangani kedua belah pihak. Biasanya, katanya 40 sampai 50 persen dari hasil yang dimenangkan ini akan diberikan kepada TP fundernya. Bila ternyata tuntutannya kalah, pihak yang mengajukan funder itu tidak akan dibebani biaya apapun, seluruh resiko sudah dibebankan kepada funder. Itulah mengapa funder perlu memeriksa terlebih dahulu kekuatan suatu perkara sebelum memutuskan akan membiayai penyelesaian perkara tersebut.

Ini bisa memperluas akses keadilan bagi pihak-pihak yang sebenernya mempunyai tuntutan yang besar, tapi mereka tidak mampu secara finansial untuk mengejar tuntutan tersebut. Jadi selain LBH dan bantuan hukum Cuma-Cuma (pro bono), di Singapura, TPF ini juga dikenal sebagai instrumen bantuan hukum yang bernilai sosial, namun berdimensi komersil. “Perkara sudah dijadikan semacam komoditas, dari sisi funder bisa diberikan return yang bagus, dari sisi pihak yang dibiayai juga bisa diberikan akses keadilan yang lebih besar, Ini sangat menarik,” tukasnya.

Antisipasi Conflict of Interest

Jika pada pemeriksaan bukti pokok perkara dibutuhkan disclosure of evidence, maka dalam praktik TPF akan ditemukan juga adanya perintah disclosure of funding agreement. Tribunal bisa memerintahkan para pihak untuk men-disclose perjanjian funding yang telah dibuat. Hal ini sangat diperlukan untuk memeriksa, apakah ada conflict of interest dari funder dalam kasus tersebut.

“Kadang kita ga tau kalau TP funder ini ternyata sudah berinvestasi di beberapa perkara, dan bisa saja perkara ini melibatkan perkara pihak B. Ini penting untuk mencegah kalau ternyata keterlibatan itu bisa menghasilkan conflict of interest dan hasil akhirnya bisa mempengaruhi dan membahayakan putusan,” jelasnya.

Kewajiban untuk membukaTP agreement itu, paling banyak diatur di dalam softlaw, misalnya oleh organisasi yang menaungi TP funder, atau bisa juga diatur sebagai pedoman beracara oleh bar association. Tak hanya kewajiban disclosure TP funder saja, tribunal juga disebut Kendista juga berkewajiban untuk men-disclose semua hubungannya dengan funder. Dengan begitu, celah tipu muslihat yang mungkin bisa saja terjadi antara arbiter tribunal dengan funder bisa diantisipasi sejak awal.

Tags:

Berita Terkait