Kalaupun ada perselisihan, badan peradilan, termasuk mahkamah konstitusi yang sudah teruji, akan menyelesaikannya berdasarkan preseden-preseden yang tepat untuk kasus yang timbul. Kalaupun preseden yang ada dianggap tidak berlaku terhadap kasus itu, atau dianggap sudah tidak lagi mencerminkan rasa keadilan kini, preseden baru diciptakan dengan mendasarkannya kepada prinsip hukum dan rasa keadilan baru yang kini dianut masyarakat tersebut. Namun, tentu saja ada pengecualian-pengecualian. Negara maju pun harus melakukan reformasi struktural dari waktu ke waktu. Akan tetapi, selalu saja dasar dan tujuannya adalah untuk manfaat dan kepentingan terbaik dari masyarakat banyak.
Krisis multidimensi di Indonesia yang kita alami begitu merusak kepentingan masyarakat banyak. Kegiatan ekonomi turun sampai titik terendah. Perbankan rusak dan hancur sendi-sendinya. Korporasi banyak terancam bangkrut, ekspor turun, dan pengangguran menjulang tinggi, sehingga membuat frustasi begitu banyak keluarga kelas menengah dan buruh kecil. Gizi, pendidikan, dan perawatan kesehatan untuk rakyat kecil menurun drastis. Yang membuat ngeri, krisis ini membawa kita ke krisis kemanusiaan, perpecahan bangsa, serta masa depan negara dan bangsa Indonesia yang menjadi tidak jelas.
Namun, kita pun sadar bahwa krisis dan kehancuran-kehancuran yang diakibatkannya tersebut lebih banyak disebabkan oleh rapuhnya struktur dan sistem ekonomi, hukum, dan politik yang ada selama lebih dari 30 tahun, bahkan sejak era Orde Lama sekalipun. Ekonomi selama ini hanya soal pertumbuhan dan statistik saja. Perbankan dijalankan tanpa prinsip kehati-hatian. Pemerintahan dari struktur teratas sampai terbawah dijalankan secara korup dan menindas.
Hukum hampir tidak berubah. Kalaupun ada perubahan, manfaat terbesar bukan dinikmati oleh rakyat banyak. Peradilan juga korup dan terbutakan dari kenyataan-kenyataan sosial dan politik yang terjadi. Sistem politik hanya mengenal kekuasaan yang menunjang kepentingan penguasa. Rakyat dan kepentingan rakyat banyak hanya dijadikan alasan slogan politik dan manis di bibir. Rakyat banyak tetap miskin dan tertindas.
Kalau saja krisis terjadi di mana sistim politik, ekonomi, dan hukum kita yang sudah mapan, transparan, dan demokratis, tentu akibatnya tidak akan semasif seperti yang terjadi sekarang ini. Krisis dan semua akibat negatifnya tentu bukan satu-satunya yang sedang terjadi di Indonesia. Banyak orang percaya bahwa krisis membuka kesempatan-kesempatan, tentu dalam arti yang positif.
Kalau krisis tidak terjadi, mungkin Soeharto dan kroninya masih berkuasa dan meneruskan tradisi tiraninya. Militer masih menjadi alat penguasa. Perbankan kita masih bobrok, dan ekonomi kita tetap hanya mengejar statistik tanpa peduli akan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Hukum kita tidak akan direformasi karena masih dianggap cukup mendukung penguasa. Dan sistem politik hanya mengenal arti demokrasi sampai batas pemilihan umum yang sudah diatur dan berujung dengan lembaga perwakilan rakyat yang mandul.
Krisis multi dimensi memberi kita kesempatan untuk merombak habis sistem perbankan. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) seharusnya diberi kekuatan hukum dan politik untuk menata kembali sistem perbankan yang prudent dan memihak kepada pertumbuhan industri yang menyumbang pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan bersaing sehat. BPPN pula yang seharusnya mampu merestrukturisasi perusahaan-perusahaan yang menjadi debitur-debitur bank yang kolaps, sehingga yang mempunyai prospek sehat bisa dilanjutkan dan yang menjadi beban karena sarat dengan praktek koruptif dibangkrutkan. Pengusaha yang kooperatif, tidak jahat, dan mampu melihat arah pertumbuhan bisnis yang sehat patut dirangkul, dan mereka yang beritikad buruk ditindak secara hukum tanpa ampun.