Mahkamah Konstitusi (MK) sampai saat ini masih sibuk menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Tahun 2024. Setelah sebelumnya memutus PHPU Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) sekarang giliran PHPU legislatif. Setelah proses PHPU kelar, MK kembali lagi memeriksa permohonan pengujian Undang-Undang (PUU). Tapi proses persidangan di Mahkamah berbeda dengan di pengadilan umum karena pihak yang mengajukan permohonan dan beracara tak perlu menyandang gelar advokat.
Ketua MK Suhartoyo, menjelaskan setiap warga negara Indonesia dapat mengajukan PUU yang dinilai tidak sesuai dengan perkembangan hak konstitusional warga negara. Sehingga terkait dengan PUU ini, warga negara asing tidak dapat melakukan pengujian norma yang termuat dalam konstitusi Indonesia.
“Oleh karenanya, untuk beracara di MK dan mengajukan perkara tidak harus dilakukan oleh advokat atau didampingi oleh advokat. Namun prinsipal dapat menunjuk pendamping yang bukan advokat. Ini dilakukan MK untuk memudahkan para pencari keadilan yang berkaitan dengan hak konstitusionalnya yang dirasakan dirugikan, sehingga di sini tidak boleh terhalang oleh finansial. Itulah jiwa atau roh dasar perlu dibentuk MK,” kata Suhartoyo sebagaimana dilansir laman MK, Sabtu (4/5).
Baca juga:
- Tim Hukum 01: Pergeseran Pandangan Ketua MK Penyebab Permohonan Sengketa Pilpres Kandas
- Permohonan Sengketa Pilpres Anies-Muhaimin Kandas di MK
- Bernasib Sama, Permohonan Ganjar-Mahfud Pun Kandas di MK
Lebih lanjut Suhartoyo menjelaskan sistematika permohonan PUU yakni, identitas Pemohon yang terdiri atas nama Pemohon dan/atau kuasa hukum, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat dan alamat surat elektronik. Lalu terdapat uraian mengenai hal-hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah Konstitusi; kedudukan hukum Pemohon (legal standing); dan alasan-alasan permohonan pengujian (posita). Selanjutnya ditutup dengan hal-hal yang dimohonkan (petitum).
Suhartoyo menguraikan proses persidangan PUU di MK mulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan, pembuktian yang meminta keterangan DPR dan Pemerintah. Dia menekankan kehadiran pihak DPR dan Pemerintah bukan sebagai tergugat sebagaimana layaknya peradilan umum, tapi memberikan keterangan untuk menjabarkan bagaimana kajian akademik dan menjawab hal-hal yang ditanyakan oleh Pemohon.
Pasal 7 Peraturan MK No.2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara PUU mengatur Pemohon, Pemberi Keterangan, dan/atau Pihak Terkait dapat diwakili kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dan/atau didampingi oleh pendamping berdasarkan surat keterangan. Surat kuasa khusus itu ditempel meterai, ditandatangani pemberi dan penerima kuasa. Begitu juga surat keterangan pendamping, ditempel meterai dan ditandatangani Pemohon, Pemberi Keterangan, dan/atau Pihak Terkait serta pendamping masing-masing. Khusus untuk penerima kuasa, dalam keadaan tertentu dapat memberi kuasa substitusi hanya untuk 1 kali keperluan agenda persidangan.