Kotak Pandora UU Perkawinan Dulu, Kini, dan Nanti
Feature

Kotak Pandora UU Perkawinan Dulu, Kini, dan Nanti

Masalah paling mencolok soal polemik perkawinan beda agama.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 8 Menit
Suasana aksi unjuk rasa di dalam Gedung DPR pada  27 September 1973 silam. Foto: Dokumentasi Koran Sinar Harapan
Suasana aksi unjuk rasa di dalam Gedung DPR pada 27 September 1973 silam. Foto: Dokumentasi Koran Sinar Harapan

Gelombang demonstrasi datang silih berganti meramaikan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sekonyong-konyong teriakan Allahu Akbar bersahut-sahutan memasuki ruang sidang DPR mengiringi massa yang menduduki kursi-kursi dan meja-meja ruangan sidang. Pidato Menteri Agama Mukti Ali yang mewakili pemerintah terpaksa dihentikan. Pimpinan sidang Domo Pranoto yang juga Wakil Ketua DPR menjatuhkan skors sementara.

Lalu, Mukti Ali bersama Menteri Kehakiman Oemar Seno Adjie dievakuasi dari ruang sidang DPR. Para demonstran mencapai puncak kengototan menolak keras RUU Perkawinan saat aksi massa menggeruduk DPR pada 27 September 1973 silam itu. Tidak pernah ada polemik dan kehebohan publik sebesar RUU Perkawinan dalam sejarah legislasi Orde Lama, apalagi Orde Baru.

Ruang sidang pleno diduduki para demonstran selama kira-kira 2 jam dan kericuhan berlanjut di luar gedung DPR. Keadaan baru berhasil ditertibkan dengan bantuan satu pleton pasukan khusus Korps Komando Operasi TNI Angkatan Laut dan lima kendaraan lapis baja. Bersamaan dengan itu, tercatat sepuluh orang aktivis dari berbagai kelompok umat Islam ditangkap sebagai buntut aksi geruduk massa di tengah sidang DPR.

Baca Juga:

Sejumlah catatan pemberitaan media massa dan penelitian sejarah yang dihimpun Hukumonline menunjukkan bukan hanya kelompok massa umat Islam yang bereaksi keras. Misalnya, penelitian sejarah Universitas Jember berjudul Negara dan Masalah Keislaman, Studi Historis Perdebatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan 1973-1974 menyebut organisasi mahasiswa kalangan Protestan, Katolik, dan nasionalis juga terlibat polemik. Pada tanggal 19 September 1973 mereka bersama-sama mengeluarkan pernyataan agar DPR dan Pemerintah menyusun UU Perkawinan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 terutama syarat sahnya perkawinan agar bersumber Pasal 27 dan Pasal 29 UUD 1945.

Begitu rumitnya polemik legislasi satu ini sampai tim elit Presiden Soeharto, seperti Kepala Badan Intelijen hingga Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ikut mengawalnya. Penelitian sejarah Universitas Indonesia berjudul Perjalanan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia 1974–1983 mencatat RUU Perkawinan baru dilanjutkan usai kericuhan massa di DPR 27 September 1973 dengan sejumlah kompromi. Intinya, seluruh materi RUU Perkawinan 1973 yang bertentangan dengan hukum Islam dihilangkan dan diubah, sehingga sesuai atau tidak bertentangan lagi dengan hukum Islam.

Sejak Tahun 1950, 1967, 1968, hingga 1974

Sudah sejak tahun 1950 era Orde Lama, ada upaya pemerintah menyusun RUU Perkawinan. Berbagai regulasi mengenai perkawinan yang berlaku ditinjau ulang untuk disesuaikan dengan kondisi pascakemerdekaan. Penting diingat beberapa yang sudah berlaku, bahkan sejak masa kolonial Belanda yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek/Staatsblad 1847 Nomor 23), khususnya Buku I tentang Orang, Peraturan Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijk Reglement Staatsblad 1898 Nomor 158), Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia atau HOCI (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers, Staatblad 1933 Nomor 74) khusus bagi mereka yang beragama Kristen, serta sejumlah hukum Adat dan hukum Islam tentang perkawinan. Hukum Adat berlaku bagi penduduk suku-suku Indonesia. Sedangkan hukum Islam hanya soal ketentuan-ketentuan administratif berdasarkan UU No.22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, serta UU No.32 Tahun 1954.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait