KPA: Sepanjang 2022 Ada 497 Korban Kriminalisasi dalam Konflik Agraria
Terbaru

KPA: Sepanjang 2022 Ada 497 Korban Kriminalisasi dalam Konflik Agraria

Kriminalisasi yang dilakukan aparat tak hanya menyasar warga secara individu, tapi juga secara massal.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika saat peluncuran Catahu KPA Tahun 2022 di Jakarta, Senin (9/1/2023). Foto: ADY
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika saat peluncuran Catahu KPA Tahun 2022 di Jakarta, Senin (9/1/2023). Foto: ADY

Masyarakat yang terlibat dalam suatu konflik agraria rawan mengalami kekerasan dan berpotensi dikriminalisasi. Sekjen KPA, Dewi Kartika, mengatakan sepanjang tahun 2022 ada 212 letusan konflik agraria, mencakup 1.035.613 hektar lahan dan 346.402 KK terdampak. Tren terjadinya konflik agraria terus mengalami peningkatan.

Konflik agraria paling banyak terjadi di 5 provinsi yakni Jawa Barat 25 kasus, Sumatera Utara 22 kasus, Jawa Timur dan Kalimantan Barat masing-masing 13 kasus, dan Sulawesi Selatan 12 kasus. Dewi mencatat sepanjang tahun 2022 belum ada perubahan signifikan dan mendasar yang dilakukan oleh pemerintah, baik di pusat dan daerah dalam menangani dan menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.

Pemerintah dinilai lemah dan lambat dalam melakukan upaya pencegahan (preventive actions), sebelum konflik atau kekerasan agraria meuncul dan meluas. “Penanganan yang dilakukan business as usual, respon reaktif (pemadam kebakaran), tidak utuh dan tuntas, pendekatan formalistik/hukum positif,” kata Dewi dalam peluncuran Catahu 2022 KPA di Jakarta, Senin (9/1/2023) kemarin.

Baca Juga:

Selain menghadapi kekerasan, masyarakat yang terlibat dalam konflik agraria rentan dikriminalisasi. Dewi mencatat sepanjang 2022 terjadi 497 kasus kriminalisasi pejuang hak atas tanah (land rights defenders). Dari 497 kasus sebanyak 38 kasus terjadi penganiayaan, 3 kasus mengalami luka tembak, dan 3 tewas.

Pendekatan yang dilakukan dalam menangani konflik agraria selama 2022 masih menggunakan cara lama yang tidak humanis dan lebih mengutamakan kekerasan serta hukum normatif. Hal itu membuat masyarakat yang dikriminalisasi meningkat dibanding tahun 2021 yang jumlahnya 150 kasus.

Dewi menjelaskan kriminalisasi yang dilakukan aparat tak hanya menyasar warga secara individu, tapi juga secara massal. Misalnya dalam kasus konflik agraria di Muko-muko, Bengkulu, sedikitnya 40 warga Desa Malin Deman yang berkonflik dengan PT. Daria Dharma Pratama (DDP) dikriminalisasi dan ditelanjangi oleh aparat keamanan. Dengan tuduhan melakukan pencurian di lahan perusahaan.

Kriminalisasi massal juga terjadi di desa Wadas, Jawa Tengah yang menolak tambang batu andesit untuk pembangunan waduk Bener. Dalam peristiwa itu 40 warga ditangkap. “Aparat secara brutal menangkap warga yang menolak penambangan batu andesit untuk pembangunan PSN Bendungan Bener,” ujar Dewi.

Kemudian 42 warga ditangkap karena menolak kebijakan Gubernur NTT terkait Kawasan Wisata Taman Nasional Komodo antara lain kenaikan harga tiket. Masyarakat adat Rendu-Nagakeo, NTT sebanyak 24 warga ditangkap oleh aparat kepolisian saat menolak pembangunan waduk Lambo yang merampas tanah dan wilayah hidup.

Desa Katulistiwa-Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, sebanyak 59 warga ditangkap usai kericuhan dan penutupan jalan oleh warga yang berkonflik dengan PT. Trio Kencana yang beroperasi bisnis tambang secara illegal. “Bahkan menewaskan salah satu warga bernama Erfaldi akibat terkena peluru aparat kepolisian,” katanya.

Tags:

Berita Terkait