LBH Beberkan Penyebab Meningkatnya Kekerasan Seksual Anak di Aceh
Terbaru

LBH Beberkan Penyebab Meningkatnya Kekerasan Seksual Anak di Aceh

Karena Qanun Jinayat di Aceh hanya fokus menghukum pelaku dan tidak memperhatikan hak-hak korban; hukuman yang diberikan kepada pelaku tergolong rendah sehingga tidak memberikan efek jera; perspektif aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra dalam Instagram Live Hukumonline bertema 'Potret Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Aceh: Kondisi dan Tantangan', Kamis (11/8/2022). Foto: ADY
Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra dalam Instagram Live Hukumonline bertema 'Potret Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Aceh: Kondisi dan Tantangan', Kamis (11/8/2022). Foto: ADY

Ancaman kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak masih menjadi persoalan besar yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan aparat penegak hukum. Terbitnya UU No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU, serta UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi harapan bagi korban untuk mendapatkan hak-haknya dan keadilan.

Tapi sayangnya kedua beleid itu tidak digunakan sebagaimana mestinya, terutama di Banda Aceh karena yang digunakan sebagai pedoman yakni Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat atau dikenal dengan istilah Qanun Jinayat. Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra, mengatakan Qanun Jinayat mengatur 10 tindak pidana dalam Islam yakni Khamar, Maisir; Khalwat; Ikhtilath; Zina; Pelecehan Seksual; Pemerkosaan; Qadzaf; Liwath; dan Musahaqah.

Qanun Jinayat tidak mengatur komprehensif tindak pidana kekerasan seksual, karena hanya mengatur tentang pelecehan seksual dan pemerkosaan. Fokus pengaturannya hanya untuk menghukum pelaku dan tidak memberi perhatian terhadap hak-hak korban. Bahkan dalam proses penanganannya juga tidak berpihak kepada korban. Misalnnya, korban dibebankan pembuktian.

“Bulan lalu hakim Mahkamah Syariah di Aceh Barat Daya menganulir hak anak dengan cara membebaskan pelaku karena alasan tidak ada saksi yang melihat langsung. Bayangkan hakim berharap ada saksi yang melihat pelecehan seksual dan pemerkosaan,” kata Syahrul dalam Instagram Live Hukumonline bertema “Potret Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Aceh: Kondisi dan Tantangan”, Kamis (11/8/2022).

Menurut Syahrul, hal tersebut memicu meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh. Melansir data dari Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (DP3A) pada tahun 2019 tercatat ada 1.067 korban, 2020 ada 905 korban, dan periode Januari-September 2021 ada 702 korban. Dari 702 korban di tahun 2021 itu sebanyak 347 perempuan meliputi 612 kasus. Jenis kasus kekerasan yang dialami perempuan tahun 2021 itu antara lain kekerasan fisik (75 kasus), kekerasan dalam rumah tangga (241 kasus), psikis (141), pelecehan seksual dan pemerkosaan masing-masing 14 kasus.

Sebanyak 350 anak di Aceh mengalami kekerasan periode Januari-September 2021 meliputi 1.118 kasus. Kasus kekerasan itu paling banyak bentuknya kekerasan seksual 355 kasus, kekerasan psikis 238 kasus, fisik 167 kasus, perdagangan manusia 3 kasus, penelantaran 96 kasus, KDRT 76 kasus, dan 64 kasus anak berhadapan dengan hukum.

“Sepanjang Januari-September 2021 setiap hari ada 1 anak yang menjadi korban kekerasan seksual di Aceh,” ujarnya.

Menurut catatan LBH Aceh melalui Rumah Bagi Anak Korban Kekerasansetidaknya 2 hal sebab tingginya kekerasan seksual di Aceh. Pertama, pola penanganan tidak komprehensif terutama dalam memenuhi hak-hak korban. Qanun Jinayat hanya fokus menghukum pelaku dan hukumannya pun tergolong ringan.

“Setelah mendapat hukum cambuk yang selesai dalam waktu 1 hari, pelaku bisa langsung bebas berkeliaran di masyarakat,” lanjutnya.

Kedua, perspektif aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual. Ketika korban melapor aparat selalu meminta bukti, setidaknya saksi yang melihat peristiwa sebagaimana dituduhkan. “Pembebanan bukti kepada korban ini menimbulkan motivasi bagi pelaku untuk melakukan pemerkosaan (kekerasan seksual) di tempat yang sepi atau tidak terlihat. Ini yang menyebabkan angka kekerasan seksual di Aceh naik,” tegas Syahrul.

Tags:

Berita Terkait