MA Dalami Problematika Pengaturan Living Law KUHP Nasional
Terbaru

MA Dalami Problematika Pengaturan Living Law KUHP Nasional

Melibatkan pakar hukum adat yang tergabung dalam APHA Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Pasca disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang notabene menjadi ‘kitab’ hukum pidana nasional. Meski keberlakuannya masih tiga tahun mendatang sejak disahkannya UU 1/2023, namun masih memiliki problematika tersendiri.

Khususnya soal penerapan hukum yang hidup di masyarakat alias living law. Atas asar itulah Mahkamah Agung (MA) mengurai persoalan yang berpotensi muncul dalam penerapan hukum yang hidup di masyarakat. Setidaknya, MA menggelar pembahasan  problematika pengaturan hukum yang hidup di masyarakat dengan melibatkan 11 pakar hukum adat di Gedung MA, Kamis (14/3/2024).

Sebagaimana dilansir Antara, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Sunarto mengatakan pembahasan problematika pengaturan hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law) pasca-KUHP nasional melibatkan 11 pakar hukum adat tergabung dalam ​​​Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia. Pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dalam Pasal 2. Sementara tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dalam Pasal 597.

Pasal 597 ayat (1) menyebutkan, Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f”. Tapi sebagaimana rumusan norma Pasal 642 UU 1/2023, KUHP produk nasional ini bakal berlaku mulai 2 Januari 2026 mendatang.

Baca juga:

Ketua Umum APHA Prof St. Laksanto Utomo, menjelaskan audiensi sekaligus penyerahan rekomendasi tentang isu strategis nasional mengenai hukum adat dan masyarakat hukum adat merupakan tindak lanjut dari seminar nasional bertema Dinamika Peradilan Adat di Indonesia Pasca-Berlakunya KUHP Baru.

Seminar nasional yang diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat, 17—18 Februari 2024, kata Prof. Laksanto, atas kerja sama APHA dan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. Tapi yang pasti, kata Prof Laksanto, APHA menyerahkan 10 rekomendasi kepada MA terkait dengan penerapan living law dalam KUHP nasional.

Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Katolik Parahyangan, Prof Catharina Dewi Wulansari berpandangan, keberlakuan peradilan adat dalam penyelenggaraannya atas tiga prinsip. Yakni, kearifan lokal, keadilan sosial, dan hak asasi manusia (HAM). Nah terkait dengan HAM, Prof Catharina menyoal cara pandang universalitas HAM, nondiskriminasi, kesetaraan, pemartabatan manusia, serta menempatkan tanggung jawab negara dalam melindungi HAM.

Dia menerangkan prinsip kearifan lokal. Menurutnya, penyelenggaraannya atas dasar tradisi yang telah dipertahankan dan dapat diterima luas di tengah masyarakat adat secara turun-temurun. Sementara prinsip keadilan sosial yakni mengedepankan terwujudnya rasa keadilan yang dirasakan sangat penting di tengah masyarakat keberlakuannya, atau suatu yang memiliki kebermaknaan sosial.

Perlu diketahui, dalam pertemuan antara MA, sejumlah pakar hukum adat yang tergabung dalam APHA Indonesia berkontribusi dengan menyodorkan 11 rekomendasi. Selain Prof Laksanto dan Prof Catharina Dewi Wulansari, ada Guru Besar FH Universitas Borobudur, Prof Faisal Santiago, Guru Besar FH Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof Abrar Saleng dan Guru Besar FH Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Rosnidar Sembiring

Tags:

Berita Terkait