MA Rampungkan Pedoman Pemidanaan Perkara Tipikor
Utama

MA Rampungkan Pedoman Pemidanaan Perkara Tipikor

Draf Perma Pedoman Pemidanaan Perkara Tipikor ini mengatur dasar dan standar pemidanaan perkara tipikor bagi hakim dengan kategori hukuman berat, sedang, ringan, dan sangat ringan.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Pasal 2 ayat (1)

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.”

 

Pasal 3

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.”

Menurutnya, pertimbangan penjatuhan putusan didasarkan fakta persidangan untuk melihat peranan terdakwa; keuntungan yang diperoleh terdakwa; apakah terdakwa hanya menandatangani karena jabatannya, tetapi yang menikmati orang lain; berapa nilai kerugian negara yang diperoleh, berapa kerugian negara yang telah dikembalikan terdakwa; sehingga bisa mengukur tingkat kesalahan terdakwa.

“Nah, fakta persidangan tersebut masuk dalam kategori-kategori. Misalnya, kategori ringan hukumannya 5 sampai 7 tahun, maka hakim akan menjatuhkan putusan tidak jauh dari guidelines pedoman ini,” katanya.

 

Sebagai petunjuk pemidanaan

Peneliti MaPPI FHUI Adery Ardhan Saputro menerangkan tujuan disusunnya Pedoman Pemidanaan ini sebagai guidelines atau petunjuk bagi majelis hakim dalam mengadili dan memutus perkara korupsi. Sebab, selama ini sering terjadi disparitas putusan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi.  

 

“Pedoman ini memudahkan hakim menjatuhkan putusan pemidanaan dalam kasus tindak pidana korupsi. Tapi, hakim masih diberi ruang menjaga kemandiriannya dalam memutuskan perkara. Independensi hakim akan tetap terjaga dalam membuat outusan,” kata Adery kepada Hukumonline.

 

Berdasarkan pengamatan Adery, selama ini hakim seringkali dikritik oleh masyarakat, aktivis, dan lembaga swadaya masyarakat ketika memutus perkara korupsi baik meringankan terdakwa atau memperberat terdakwa. Berangkat dari situ perlu keseragaman (standar penjatuhan pidana) dalam memutus tindak pidana korupsi.

 

Namun, bila hakim menjatuhkan putusan melebihi dari petunjuk Pedoman ini. Misalnya, dalam pedoman ditentukan 5 sampai 7 tahun, tetapi hakim memutus lebih dari itu. “Hakim diwajibkan memberi alasan pertimbangan yang kuat mengapa memutus lebih dari pedoman pemidanaan ini. Ini yang dinamakan pedoman yang seragam (standar, red), tetapi ‘berwarna’ karena hakim tetap diberikan kebebasan dalam memutus perkara,” katanya.

 

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

Tags:

Berita Terkait