Melihat Fenomena Kawin Kontrak dalam Hukum Indonesia
Terbaru

Melihat Fenomena Kawin Kontrak dalam Hukum Indonesia

Perkawinan sementara dengan jangka waktu tertentu atau yang dikenal dengan istilah kawin kontrak, tidak sesuai dengan hukum negara. Kawin kontrak menurut hukum negara telah menyimpangi tujuan perkawinan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

Salah satu hal yang perlu digarisbawahi adalah tujuan perkawinan untuk “membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.” Sejalan dengan hal ini, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menganut asas untuk mempersulit terjadinya perceraian yang artinya perceraian harus dilakukan melalui proses di pengadilan karena adanya alasan yang cukup bahwa antara suami istri tidak dapat hidup rukun sebagaimana diatur pada Pasal 39 UU Perkawinan.

Lalu, perundang-undangan juga mengatur berbagai alasan yang dibenarkan terjadinya perceraian. Alasan tersebut antara lain salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

Kemudian, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Selanjutnya, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. Dan, antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dengan demikian, perkawinan sementara dengan jangka waktu tertentu atau yang dikenal dengan istilah kawin kontrak, tidak sesuai dengan hukum negara. Atau, kawin kontrak menurut hukum negara telah menyimpangi tujuan perkawinan sebagaimana diuraikan di atas.

Apabila dibuat suatu perjanjian atau kontrak yang menyepakati untuk melakukan perkawinan kontrak dengan jangka waktu tertentu, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Namun, jika perkawinan tetap dilaksanakan dengan memenuhi syarat sahnya perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan, yaitu menurut hukum agama dan kepercayaannya lalu kemudian dicatatkan di KUA, maka perkawinan tersebut akan tetap sah dan membawa akibat keperdataan antara suami istri.

Tags:

Berita Terkait