Pengadilan menyatakan perjanjian tersebut ‘batal demi hukum’ karena tidak memenuhi persyaratan ‘kausa yang halal’ sebagaimana diatur pada KUHPerdata. Selain itu, terdapat berbagai inkonsistensi putusan atau pandangan pengadilan memandang pengaturan tersebut.
Di tempat yang sama, Associate Partner HHP Law Firm, Agung Wijaya menjelaskan dalam praktiknya masih terdapat berbagai pertanyaan publik. Misalnya, penggunaan bahasa asing dapat menjadi bahasa yang mengatur apabila perjanjian ditandatangani oleh direktur asing PT PMA.
Kemudian status kantor perwakilan/bentuk usaha tetap dapat dianggap sebagai pihak asing, dan penerjemahan pada lampiran suatu perjanjian yang bersifat teknis dan sebagian besar berupa gambar. Namun, terdapat berbagai perjanjian yang harus dibuat dalam bahasa Indonesia seperti hak tanggungan, jaminan fidusia, dokumen antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumen, kontrak kerja konstruksi.
“Kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris,” katanya.
Associate Partner HHP Law Firm, Agung Wijaya memaparkan materi di depan para peserta workshop. Foto: RES
Agung memaparkan mengenai kondisi penggunaan bahasa Indonesia berdasarkan para pihak. Penggunaan bahasa Indonesia atau dua bahasa digunakan saat semua pihak Indonesia. Jika perjanjian dibuat dalam dua bahasa maka kontrak ditandatangani secara bersamaan.
Sedangkan saat perjanjian melibatkan pihak asing maka dapat dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa nasional pihak asing atau bahasa Inggris. Para pihak dapat memilih bahasa yang mengatur. Kemudian, apabila dalam dua bahasa juga ditandatangani pada saat yang bersamaan.