Memprediksi Tindak Lanjut atas Laporan 75 Pegawai KPK
Utama

Memprediksi Tindak Lanjut atas Laporan 75 Pegawai KPK

Sebelumnya, 75 pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan melaporkan pimpinannya ke Dewas, Ombudsman dan Komnas Perempuan. Ada batasan kewenangan yang dilampaui pimpinan KPK.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Gita Putri Damayana, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) (bawah) saat menjadi pembicara di acara diskusi yang diadaakan oleh hukumonline dengan mengangkat tema  '75 Pegawai KPK Dinonaktifkan, Upaya Pemberantasan Korupsi di Ujung Tanduk?
Gita Putri Damayana, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) (bawah) saat menjadi pembicara di acara diskusi yang diadaakan oleh hukumonline dengan mengangkat tema '75 Pegawai KPK Dinonaktifkan, Upaya Pemberantasan Korupsi di Ujung Tanduk?

Polemik mengenai nasib 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang Tidak Memenuhi Syarat (TSM) dari Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam alih fungsi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) masih terus berlanjut. Setelah melaporkan adanya dugaan diskriminasi materi TWK ke Komnas Perempuan, para pegawai juga melaporkan para pimpinan KPK kepada Dewan Pengawas dan juga Ombudsman RI.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Gita Putri Damayana menyatakan apa yang dilakukan para pegawai KPK itu merupakan salah satu cara mereka untuk mendapatkan keadilan. Apalagi pelaksanaan TWK memang dianggap kontroversial baik dari materi tes maupun dari sisi legal formil.

PSHK sendiri sebelumnya telah melansir 5 indikasi cacat hukum pelaksanaan TWK. Pertama alih status ini merupakan implementasi dari UU KPK baru khususnya di Pasal 69 huruf c tentang status pegawai KPK jadi ASN dan sudah keluar peraturan pelaksananya. Dan salah satu rujukan aturan pelaksanaan ada di PP 41 tahun 2020.

“Tapi di PP ini tidak diatur TWK jadi syarat kelulusan pegawai KPK alih fungsi menjadi ASN. Artinya dasar TWK itu tidak ada karena tidak pernah disyaratkan. Ketika sesuatu yang tidak disyaratkan tapi di ada-ada kan, ini besar ini peluangnya sangat besar bagi 75 KPK melakukan perlawanan terhadap keputusan (pimpinan KPK),” ujarnya dalam diskusi secara daring melalui Instagram Hukumonline, Kamis (21/5). (Baca: Alasan 75 Pegawai Laporkan Pimpinan ke Dewas KPK)

Selain itu keputusan pimpinan KPK ini juga melanggar putusan MK, karena seharusnya pengalihan status ini memberikan jaminan hukum dengan tidak merugikan para pegawai. Kemudian putusan pimpinan KPK untuk menonaktifkan 75 pegawai KPK dengan menyerahkan seluruh tanggung jawab dan tugasnya kepada atasan tidak dikenal dalam aturan internal yang ada di KPK dan tidak diatur di PP 41 2020 tersebut sehingga bertentangan dengan hukum.

Selanjutnya status 75 pegawai nonaktif dengan dalih TWK ini lagi-lagi tidak ada dasar hukumnya. Bila pegawai KPK itu berubah statusnya mereka harus ada syarat tertentu antara lain memasuki masa pensiun, melanggar disiplin dan kode etik, meninggal dunia atau ada keinginan sendiri. “Sehingga kalau dinonaktifkan harusnya ada sidang kode etik dari Dewan Pengawas KPK, karena kan statusnya berubah,” terang Gita.  

Tak hanya itu, tindakan pimpinan KPK menonaktifkan para pegawai tersebut dianggap masuk dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yang artinya pimpinan KPK telah melampaui batas kewenangan sehingga melanggar peraturan perundang-undangan karena apa yang telah dilakukan para pimpinan tidak sesuai dengan kewenangannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait