Rampung sudah rangkaian Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dengan berbagai dinamikan dan kontroversinya. Seperti persoalan tidak netralnya sejumlah Penjabat (Pj) Kepala Daerah di berbagai daerah. Polemik tersebut ditengarai masih berisiko terjadi saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 yang dijadwalkan pada 27 November mendatang.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola menyatakan perlu mewaspadai risiko ketidaknetralan sejumlah Pj Kepala Daerah pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Dia menilai hal ini tidak lepas dari Pilpres lalu, di mana sejumlah Pj Kepala Daerah dimanfaatkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam memenangkan salah satu pasangan calon. Setidaknya, terdapat 25 daerah saat ini dipimpin oleh Pj Gubernur.
Alvin menjelaskan ada tren peningkatan belanja pada anggaran bantuan sosial (Bansos) tahun ini. Menurutnya, terdapat potensi sisa anggaran bansos tersebut yang dapat digunakan menjelang Pilkada 2024. Dana bansos tersebut menurut Alvin berpotensi dapat dimanfaatkan untuk memobilisasi suara calon kepala daerah tertentu.
”Memang harus diwaspadai, kami melihat betul terutama ada tren peningkatan anggaran bansos di medio kuartal lalu (jelang pilpres). Akhir tahun lalu sudah anggarkan (bansos,- red) mayoritas untuk tahun ini dan belum dikeluarkan semua. Asumsi kami sangat mungkin mobilisasi semua dilakukan,” ujar Alvin dalam acara diskusi bertajuk Refleksi Hasil Pemantauan Kinerja dan Netralitasi Pejabat di Pilkada 2024, Senin (29/4/2024).
Baca juga:
- Perlu Adanya Aturan Teknis Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
- Penjabat Kepala Daerah dan Tantangan Menjalankan Kewenangannya
- 3 Rekomendasi TII untuk Pemilihan Penjabat Kepala Daerah
Dia memaparkan kinerja sejumlah Pj Kepala Daerah tidak menunjukan kontribusi positif bagi masyarakat daerahnya terlebih pada kelompok rentan. Kemudian, buruknya kinerja Pj Kepala Daerah tersebut juga dipengaruhi kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang cenderung resentralisasi.
Ironisnya, era baru resentralisasi sudah dimulai dengan penunjukan Pj Kepala Daerah yang tidak demokratis begitupula dengan kebijakannya. Baginya, para PJ Kepala Daerah lebih pada business as usual serta tidak mampu memberi gambaran soal orientasi kebijakan terhadap warga rentan dan warga daerah yang dia pimpin.