Prof Arief menyebut perlu aturan yang tegas dan jelas, sehingga pengelola platform layanan digital berbasis UGC dapat mempertanggungjawabkan konten-konten yang melanggar hak cipta. Platform layanan digital berbasis UGC itu tidak boleh membiarkan penjualan, penayangan, dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan dan/atau layanan digital yang dikelolanya tanpa seizin pencipta/pemegang hak cipta/pemilik hak terkait.
Demi kepastian hukum yang adil, Prof Arief mengatakan perlu ditegaskan larangan yang terdapat dalam Pasal 10 UU 28/2014, juga termasuk tempat perdagangan dan/atau platform layanan digital berbasis UGC. Mengingat Pasal 10 UU 28/2014 telah diberikan pemaknaan baru, maka Pasal 114 UU 28/2014 harus disesuaikan.
Artinya apabila aparat penegak hukum akan menerapkan ketentuan Pasal 114 UU 28/2014 yang merujuk pada Pasal 10 UU 28/2014, maka penerapannya tidak dapat dipisahkan dari pemaknaan baru Pasal 10 UU 28/2014 dengan jangkauan yang lebih luas dari sebelum dimaknai oleh MK. Mahkamah juga mengingatkan pembentuk UU untuk segera menyesuaikan Pasal 114 UU28/2014 dengan pemaknaan baru Pasal 10 UU 28/2014.
Membacakan amar putusan, hakim konstitusi Suhartoyo mengatakan antara lain mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 10 UU 28/2014 yang menyatakan ‘Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya’ bertentangan dengan UUD 1945.
Serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Pengelola tempat perdagangan dan/atau Platform Layanan Digital berbasis User Generated Content (UGC) dilarang membiarkan penjualan, penayangan, dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan dan/atau Layanan Digital yang dikelolanya’.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ujar Suhartoyo membacakan sebagian amar putusan.