Pandangan Luhut Pangaribuan Soal Wadah Tunggal Organisasi Advokat
Berita

Pandangan Luhut Pangaribuan Soal Wadah Tunggal Organisasi Advokat

Wadah tunggal penting, namun tidak dimaknai tunggal secara kelembagaan yang memegang satu-satunya kewenangan.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ketua Umum PERADI Rumah Bersama Advokat (RBA) Luhut MP Pangaribuan. Foto: RES
Ketua Umum PERADI Rumah Bersama Advokat (RBA) Luhut MP Pangaribuan. Foto: RES

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur ketentuan mengenai wadah tunggal organisasi advokat. Dalam UU tersebut, wadah tunggal yang dimaksud adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). PERADI merupakan organisasi advokat yang dibentuk secara bersama oleh 11 organisasi advokat yang telah ada sebelumnya. 

 

Dalam perjalanannya, PERADI sendiri mengalami perpecahan pengurus menjadi 3 pasca penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) ke II di Makassar, pada 2015 silam. Sejumlah upaya telah dilakukan dalam rangka menyatukan kembali kepengurusan PERADI yang telah pecah. 

 

Terakhir, ketika Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia “membidani” kesepakatan bersatu yang ditandatangani oleh ketiga orang Ketua Umum PERADI, yakni Fauzie Yusuf Hasibuan, Luhut MP Pangaribuan, dan Juniver Girsang. 

 

Ketika ditemui dalam moment pembukaan Munas ke III PERADI Suara Advokat Indonesia (SAI), Jumat (28/2) di Ancol, Jakarta, Ketua Umum PERADI Rumah Bersama Advokat (RBA) Luhut MP Pangaribuan menjelaskan pandangannya terkait wadah tunggal (single bar) organisasi advokat.

 

Menurut Luhut, perkembangan situasi saat ini mengharuskan advokat berpikir ulang tentang makna wadah tunggal. Ia mengakui pentingnya wadah tunggal, namun tidak dimaknai tunggal secara kelembagaan yang memegang satu-satunya kewenangan. 

 

“Itu memang kita harus single bar tapi tidak pada kewenangan. Jadi bukan kewenangan yang dipegang oleh satu orang tapi standarnya,” ujar Luhut kepada hukumonline.

 

Luhut menginginkan adanya semacam dewan kode etik atau dewan standar nasional yang perlu dibuat bersama oleh organisasi-organisasi advokat yang ada saat ini. Menurut Luhut, semangat ini jauh lebih penting dari pada sekadar mempersatukan organisasi yang jumlahnya terlanjur banyak seperti saat ini. 

 

“Dari pada organisasinya disatukan kayak dulu. Monopolistik. Makanya pecah-pecah,” tambah Luhut.

 

Saat ditanya apakah ini berarti permisif dengan keberadaan tiga kepengurusan PERADI, Luhut menjelaskan jumlah organisasi advokat yang lebih dari satu bukanlah masalah yang sebenarnya. Dengan perkembangan situasi saat ini, kebutuhan yang sifatnya lebih mendesak adalah standarisasi organisasi yang seragam. Luhut mengumpamakan hal ini dengan jumlah Fakultas Hukum yang juga tidak hanya satu.

 

(Baca: Jelang Munas, Ketiga Kubu PERADI Sepakat Bersatu Kembali)

 

“Sama saja ilustrasinya dengan fakultas hukum. Ada negeri ada swasta. Bahkan sekarang swasta makin diberikan peranan. Dia bisa (punya) Profesor bisa Doktor. Kan ada BAN (Badan Akreditasi Nasional). Jadi agak ke situ,” terangnya.

 

Luhut mencontohkan bentuk qualifying board yang ada di Malaysia. Di sana, lembaga ini diketuai oleh Ketua Mahkamah Agung. Kemudian, seluruh ketua Bar Association bergabung dalam lembaga ini dan menentukan secara bersama standar profesi.

 

“Jadi kita gak penting disatukan dalam arti organisasi, tapi standarnya yang perlu disatukan,” tegas Luhut.

 

Selain Malaysia, ia juga mencontoh dari Singapura. Di sana terdapat Law Society yang dipimpin oleh ex officio Mahkamah Agung. Dengan begitu, meskipun organisasi advokatnya banyak, namun terdapat standar organisasi yang tunggal. Ditentukan secara bersama kualifikasi advokat seperti apa seharusnya dan jika melanggar kode etik dan disanksi, tidak dapat berpindah ke organisasi yang lain.

 

Luhut menaruh kecenderungan ke arah ini dikarenakan jika jumlah organisasi yang banyak ini dilebur menjadi satu dengan kewenangan yang melekat tunggal pada satu pihak maka terdapat potensi penyalahgunaan di dalamnya. 

 

“Kecenderungannya power tends to corrupt. Selalu begitu hukumnya. Jadi kita buat aja single bar tapi terhadap standar profesi. Wujudnya bisa macam-macam,” ujarnya. 

 

Untuk mencapai apa yang dimaksud, Luhut menawarkan langkah yang menurutnya lebih sederhana. Jalannya adalah dengan meleburkan dewan kehormatan yang dimiliki oleh masing-masing organisasi advokat yang ada saat ini. Langkah ini menurut Luhut lebih mungkin dilakukan sebelum menunggu revisi UU Advokat, karena terdapat kewenangan Ketua Umum untuk meleburkan dewan kehormatan tanpa melalui Munas.

 

“Jika nanti dimasukan dalam UU Advokat lebih bagus lagi. Tapi sebelum masuk ke sana ini saja yang bisa kita lakukan. Kalau iktikadnya baik karena wewenang ketua umum untuk menyatukan dewan kehormatan itu jadi tak perlu munas tak perlu UU,” terang Luhut.

 

Saat ditanya mengenai kesepakatan bersama dengan Ketua Umum PERADi yang lain beberapa waktu lalu, Luhut mengatakan hal tersebut sebagai salah satu cara memperkuat advokat. Jalan untuk mewujudkannya, Luhut menyerahkan kepada Tim 9 yang menyelesaikan pekerjaannya.  

 

“Yang penting nanti hasil dari Tim 9 itu. Kita berharap Tim 9 itu mempersiapkan Munas. Jadi kalau ada iktikad baik saya kira itu akan lancar. Kalau iktikadnya buruk tak akan lancar,” pungkas Luhut.

 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PERADI RBA Imam Hidayat mengatakan jika melihat situasi dan kondisi organisasi advokat yang lahir pasca PERADI mengalami perpecahan maka harus lebih realistis menaruh harapan terhadap penyatuan organisasi advokat.

 

Imam menilai konsep penyatuan untuk saat ini sudah tidak lagi ideal karena jika pun nantinya PERADI berhasil melaksanakan Munas rekonsiliasi hasil kerja bersama Tim 9, permasalahan organisasi advokat lain di luar PERADI tidak selesai. “Organisasi-organisasi yang lain telah pula disahkan SK-nya oleh Kementerian Hukum dan HAM,” ujar Imam.

 

Dengan demikian, Imam menilai konsep single bar yang paling tepat dan yang paling ideal adalah penggabungan azas unifikasi yang federatif. “Artinya, Organisasi-Organisasi Advokat yang ada yang berjumlah 30-an lebih sepakat dan setuju untuk bersatu dan menyatukan Satu Kode Etik Advokat, Dewan Kehormatan, Regulasi PKPA-UPA dan Sumpah,” tutup Imam.

 

Sementara Ketua Panitia Munas ke III PERADI RBA, M. Syafei kepada hukumonline menyebutkan, kesepakatan yang ditandatangani 3 Ketua Umum di hadapan Menkopolhukam dan Menkumham hampir mengagetkan lebih dari 50 ribu advokat di Indonesia. Alasannya tidak lain karena ketiga kubu PERADI sama-sama sedang menyiapkan Munasnya masing-masing. 

 

Syafei mengingatkan bahwa sebelum ini telah ditandatangani secara bersama Deklarasi Warung Daun untuk mewujudkan satu kode etik dan satu dewan kehormatan advokat Indonesia. Karena itu, Syafei mempertanyakan nasib organisasi advokat lain di luar PERADI jika wadah tunggal tidak mengakomodir organisasi-organisasi tersebut. 

 

“Padahal selama hampir 4 tahun ini mereka juga menjalankan tugas dan fungsi organisasi advokat sebagaimana amanat UU Advokat. Oleh sebab itu mustahil advokat Indonesia akan jaya jika masih ada advokat yang berwadah di luar wadah tunggal,” tutur Syafei.

 

Tags:

Berita Terkait