Pelanggar HAM Masa Lalu Lolos dari Peradilan HAM
Berita

Pelanggar HAM Masa Lalu Lolos dari Peradilan HAM

Jakarta, hukumonline. Amandemen Pasal 28 I (1) yang telah disahkan dalam Sidang Tahunan MPR ternyata mengundang reaksi keras. Dengan pasal yang baru, pelanggar Hak Azasi Manusia (HAM) di masa lalu tidak akan bisa dijaring oleh Peradilan HAM.

Muk/APr
Bacaan 2 Menit
Pelanggar HAM Masa Lalu Lolos dari Peradilan HAM
Hukumonline

Sebagai hasil akhir dari ST MPR antara lain adalah amandemen kedua kalinya UUD 1945. Dalam pasal 28 I (1) mengenai Hak Asasi Manusia dinyatakan "& .hak untuk tidak dihukum atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun."

Dalam siaran persnya pada Jumat (18/8), Kontras menyatakan Pasal 28 I (1) ini menutup peluang bagi upaya memberikan jawaban atas bebagai bentuk pelanggaran HAM yang merupakan problem yang amat sensitif di masyarakat dan masa depan integrasi nasional.

Hal ini berarti, kasus Timor Timur, Tanjung Priok, Aceh, Papua Barat, Lampung, dan penghilangan orang, yang merupakan pelanggaran berat HAM atau masuk kategori Crimes Againts Humanity tidak dapat diselesaikan oleh sistem hukum nasional. Lebih jauh, pasal ini telah mempertahankan kekebalan hukum para pelaku pelanggaran HAM dengan jaminan konstitusi.

Munir, Ketua Dewan Pengurus Kontras, menyatakan pihaknya melihat bahwa masuknya rumusan bagian akhir Pasal 28 I (1) merupakan suatu kesengajaan politik untuk mengolah pemaknaan larangan retroaktif sebagai sebuah proses melindungi. Kalau hal itu merupakan sebuah adopsi saja dari ICCPR (International Covenant for Civil and Political Rights), maka materinya akan berbeda sama sekali dengan yang tertulis dalam amandemen UUD 1945 yang kedua ini.

"Telah ada manipulasi isu non-retroaktif yang terdapat di dalam berbagai instrumentasi konvensi internasional ke dalam konstitusi kita, tetapi justru dengan pemahaman yang bertentangan dengan konvensi-konvensi internasional tersebut," kata Munir.

Dalam rumusan konvensi-konvensi internasional, hak berlaku surut itu dibatasi khususnya mengenai kejahatan-kejahatan yang oleh mekanisme internasional digolongkan sebagai kejahatan, bukan bersifat mutlak sebagaimana rumusan pasal 28 I (1) Amandemen Konstitusi kita.

Azas non-retroaktif telah dirumuskan secara mutlak dengan penambahan ..tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. "Jadi tidak ada lagi peluang bagi munculnya instrumen hukum lain di bawah konstitusi yang mengurangi makna larangan retroaktif," simpul Munir. Ia menambahkan agak aneh konstitusi kita memasukkan pasal-pasal yang justru bertentangan dengan konsep perlindungan HAM.

Cacat lain dalam amanden kedua ini, menurut Munir, yaitu Pasal 28 I ayat (5) berupaya membatasi hak-hak lain lain di atasnya diberikan peluang untuk diabaikan dengan alasan bertentangan dengan agama, kesatuan-persatuan dan sebagainya. Jadi ada kontrakdiksi berpikir. Perlindungan yang seharusnya mutlak diberikan peluang diabaikan, sedangkan pasal yang seharusnya diberikan peluang untuk disimpangi justru diatur secara mutlak.

Risalah pembahasan

Mengenai rencana penjelasan pasal 28 dalam bentuk materi risalah pembahasan pasal yang terungkap dalam pertemuan pihaknya dengan MPR, Munir menyatakan tidak ada satu pun konstitusi di dunia ini yang pemahamannya digantungkan pada sebuah risalah pembahasan.

Argumentasi dari pihak MPR mengenai risalah pembahasan ini, dianggap Munir sebagai manipulasi pemahaman masyarakat bahwa pasal 28 ini melarang secara mutlak. "Tidak mungkin risalah bisa menganulir pasal ini," tukas Munir

Munir mengatakan, tidak akan ada undang-undang nantinya yang boleh bertentangan dengan Pasal 28 ini. "Jadi misalnya sekarang sedang dibahas di DPR RUU Peradilan HAM, sebetulnya seharusnya berhenti saja itu pembahasan karena RUU itu dibahas untuk mengadili kasus-kasus masa lalu," tukas Munir

Munir beralasan, konstitusi ini tidak akan bisa diadili. Kalaupun ada pengadilan HAM, itu untuk kasus HAM di masa yang akan datang. "Dengan konstitusi semacam ini, otomatis dasar-dasar berpijak dari seluruh RUU HAM ini berubah," lanjut Munir.

Munir berpendapat, ada suatu kesengajaan dengan suatu kemauan untuk mematahkan usaha-usaha membongkar persoalan-persoalan HAM masa lalu secara jujur, tetapi digiring ke praktek peradilan koneksitas yang diperkuat oleh konstitusi.

Hal ini bisa dilihat dari Kasus 27 Juli yang menurut DPR dimintakan koneksitas adalah PDI-P sendiri. Kemudian Kasus Aceh lewat apa yang dilakukan Meneg HAM Hasballah M. Saad. " Jadi satu-satunya karena tekanan publik yang kuat (non-Tim-Tim) adalah kasus Priok yang tidak menggunakan koneksitas, tapi tampaknya dengan pasal 28 ini, sedang digiring ke arah koneksitas juga" kata Munir.

Problem impunity

Menurut Munir, problem impunity yang selama ada dalam sistem hukum kita, terulang kembali dan lebih kokoh kali ini. Munir menjelaskan, pasal 28 saat ini jauh lebih jelek dari UUD 1945 sendiri. "Inilah konstitusi yang memberikan impunity langsung," kata Munir.

Pasalnya menurut Munir, kalau dulu ruang kewenangannya yang diberikan untuk ditafsirkan secara bebas. Kali ini bukan saja ruangnya, tapi hak itupun diberikan secara kontan kepada pihak kekuasaan untuk melindungi para pelaku kejahatan kemanusiaan.

Yang menjadi konsekuensi logis dari konstitusi semacam ini adalah bahwa sebagai pihak yang membuat konstitusi, MPR harus segera menjelaskan kepada publik tentang ketidakmungkinan sistem hukum kita untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM karena adanya pasal ini.

"MPR tidak boleh hanya melepas pasal kemudian bersembunyi di balik aparat keamanan untuk melindungi dirinya dari tekanan publik, tapi MPR harus harus menjelaskan sendiri konsekwensi peralihan-peralihan dalam amandemen atas implikasinya atas soal-soal hukum, soal-soal politik dan sebagainya, " kata Munir.

Munir beranggapan, produk-produk hukum seperti RUU Peradilan HAM tidaklah akan produktif akibat ketentuan kontitusi tadi. Bahkan, Munir menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan Tim Penyusun Draf RUU Peradilan HAM dan RUU mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Munir melihat bahwa proses yang dilakukan oleh konstitusi telah memukul kemauan melakukan reformasi sistem hukum nasional ke arah yang lebih baik. Pasal impunity ini, menurutnya, merupakan perlengkapan dari sekian pasal lain yang memberi proteksi dan tiket baru bagi unsur militer untuk kembali ke dalam politik Indonesia.

Tags: