Pemerintah Siapkan Regulasi Pajak Perusahaan Raksasa Digital
Berita

Pemerintah Siapkan Regulasi Pajak Perusahaan Raksasa Digital

Potensi pajak dari perusahaan raksasa digital sangat besar. Namun, regulasi saat ini belum maksimal menarik penerimaannya.

CR-26
Bacaan 2 Menit

 

Perusahaan sebagai BUT dapat berupa:   

  • Tempat kedudukan manajemen;
  • Cabang perusahaan;
  • Kantor perwakilan;
  • Gedung kantor;
  • Pabrik;
  • Bengkel;
  • Pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
  • Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
  • Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
  • Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
  • Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  • Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

 

Yoga menjelaskan perusahaan OTT yang tidak termasuk BUT hingga saat ini pemerintah belum mampu menerapkan pajak. “Selama ini belum, tetapi kalau perusahaan masuk kategori BUT bisa,” kata Yoga.

 

Yoga melanjutkan saat ini Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD – Organisation for Economic Co-operation and Development) juga sedang menyusun konsep perpajakan pada perusahaan OTT. Namun, dia menjelaskan konsep tersebut baru selesai pada 2020. Baca Juga: Kemenkeu Pengenaan Pajak e-Commerce Terkait Tata Cara

 

Perlu penguatan regulasi  

Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji mengatakan pemerintah perlu segera merampungkan penguatan regulasi di sektor tersebut. Menurutnya, dengan regulasi saat ini peluang untuk menghindari pajak bagi perusahaan digital masih terbuka. “Terutama dari perusahaan raksasa digital atau OTT, seperti Google, Facebook dan sebagainya,” kata Bawono.

 

Dia menjelaskan karakteristik bisnis yang tidak memerlukan kehadiran fisik seperti perusahaan OTT bisa menghindari kewajiban pajak di suatu negara. Padahal, rezim pajak internasional Indonesia masih mengacu pada negara, baru bisa mempajaki ketika perusahaan OTT tersebut setidaknya  berstatus Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sementara penentuan status BUT masih berdiri di atas elemen kehadiran secara fisik.

 

Kemudian, alokasi laba perusahaan multinasional masih berdasarkan kontribusi fungsi, aset dan risiko (FAR). Menurut dia, nilai FAR tersebut tidak mencerminkan nilai pajak yang harus dibayar perusahaan OTT. Padahal, dia menjelaskan jumlah pengguna suatu aplikasi juga menentukan besarnya pungutan pajak.

 

Bagi negara yang memiliki pangsa pasar besar pengguna aplikasi seperti Indonesia bisa jadi market base tersebut tidak berbanding lurus dengan pajak yang dikumpulkan dari perusahaan OTT,” katanya.

Tags:

Berita Terkait