Peneliti Leiden Gagas Dominus Litis Kejaksaan di Penanganan Perkara
Berita

Peneliti Leiden Gagas Dominus Litis Kejaksaan di Penanganan Perkara

Dominus litis dalam penanganan perkara oleh kejaksaan sangat diperlukan untuk melindungi seseorang sebagai tersangka yang statusnya bisa berlarut-larut.

ALI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Jaksa. Foto: NNP
Ilustrasi Jaksa. Foto: NNP
Peneliti Van Vollenhoven Institute (VVI) dan Kandidat PhD dari Leiden University, Fachrizal Afandi mengusulkan agar kewenangan mutlak atau dominus litis diberikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia dalam proses penanganan perkara pidana.

Fachrizal menilai bahwa dengan kewenangan penuh yang diberikan kepada Kejaksaan maka problem bolak-balik berkas perkara antara jaksa dan polisi dalam penanganan perkara pidana dapat diselesaikan. Usulan ini disampaikan dalam diskusi terbatas yang membahas penelitiannya di Kampus Leiden Law School, Belanda, pekan lalu, Senin (23/5).  

Lebih lanjut, Fachrizal mengutarakan kewenangan mutlak Kejaksaan ini bisa juga menghilangkan problem berlarut-larutnya status seseorang sebagai tersangka dalam perkara pidana. “Selama ini, kepolisian bisa menetapkan tersangka seseorang dalam waktu yang lama, dan berkas perkara tidak diserahkan ke kejaksaan,” ujarnya.

Fachrizal mengutarakan data pada periode 2012 – 2014, dimana kepolisian melakukan penyidikan tindak pidana sebanyak 643.063 kasus. Dari jumlah itu, hanya 463.697 Surat Perintah Dimulai Penyidikan (SPDP) yang diterima oleh kejaksaan. “Itu artinya ada 179.366 penyidikan yang tidak dilaporkan ke kejaksaan,” ujarnya. 

Pria yang sedang menulis disertasi S-3 di Leiden Law School ini menilai bahwa sebagai penuntut umum di muka pengadilan, jaksa harus diberi kewenangan penuh dalam setiap proses pra penuntutan. Misalnya, dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Kejaksaan lah yang bisa meminta kepolisian untuk mencari barang bukti yang sesuai dengan rencana dakwaannya di pengadilan.  

“Jadi, tugas kepolisian itu adalah membantu kejaksaan dalam mencari bukti-bukti itu untuk menyusun dakwaan,” tuturnya.

Sebagai informasi, saat ini memang sedang ada upaya dari berbagai elemen masyarakat sipil yang menguji sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk memperkuat jaksa sebagai pengendali perkara pidana. Selain itu, judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) ini bertujuan untuk mencegah potensi keswenangan-wenangan penyidik kepolisian dan penanganan perkara yang berlarut-larut dalam proses pra penuntutan.

Proses sidang permohonan judicial review ini sudah memasuki tahap akhir, dan tinggal menunggu putusan dari MK. Sebelumnya, pihak pemerintah – baik dari kepolisian maupun kejaksaan – sudah menyampaikan pendapatnya. Praktisi hukum Luhut MP Pangaribuan yang sempat tampil sebagai ahli dalam perkara ini juga mengakui adanya “kejanggalan” dalam proses penanganan perkara pidana di Indonesia terkait persoalan tersebut.

Fachrizal mengakui pembahasan yang disampaikannya memang juga sedang dibahas di MK. Namun, pria yang juga tercatat sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, ini menilai bahwa langkah uji materi hanya salah satu cara untuk memberikan kewenangan dominus litis ke kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. “Ada banyak jalan yang tersedia. Saya lebih setuju untuk fokus ke revisi KUHAP,” tukasnya.

Profesor senior di Van Vollenhoven Institute, Jan Michiel Otto yang hadir sebagai penanggap menilai bahwa Fachrizal perlu menambah perspektif dari para pengacara pembela tersangka atau terdakwa terkait persoalan ini. “Perlu juga untuk melihat sudut pandang dari advokat pembela tersangka atau terdakwa dalam kasus pidana,” ujarnya.

Apalagi, lanjut Prof. Otto, salah satu tujuan untuk memberikan kewenangan penuh tersebut adalah untung melindungi tersangka agar perkaranya tidak berlarut-larut. “Jadi, semakin penting untuk melihat bagaimana perspektif para pengacara yang biasa menangani perkara pidana,” pungkasnya.  
Tags:

Berita Terkait