Penundaan Amandemen Bukan Konservatisme Politik
Berita

Penundaan Amandemen Bukan Konservatisme Politik

Jakarta, hukumonline. Pembahasan amandemen UUD 1945 diharapkan rampung pada 2002. Penundaan amandemen dinilai bukan konservatisme politik karena perlu waktu untuk mensosialisasikannya.

Inay/APr
Bacaan 2 Menit
Penundaan Amandemen Bukan Konservatisme Politik
Hukumonline

Secara umum, Mulyana W. Kusumah dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menganggap bahwa MPR di bawah kepemimpinan Amien Rais telah berhasil merintis pembentukan sebuah tradisi demokrasi konstitusional baru yang akan sangat berpengaruh terhadap proses institusionalisasi nilai-nilai dan prosedur demokrasi di masa depan.

Namun KIPP, menilai ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari Sidang Tahunan ini. Fokus dan perdebatan utama dalam sidang tidak sepenuhnya sesuai dengan maksud dan tujuan awal diselenggarakannya Sidang Tahunan.

Mulyana berpendapat, perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang menyangkut 7 bab Undang-Undang Dasar 1945 harus dinilai sebagai hasil maksimal yang dapat dicapai oleh Sidang Tahunan sekarang. "Penundaan pengesahan amandemen final UUD 1945 sampai paling lambat Sidang Tahunan MPR pada 2002 tidak merupakan bentuk konservatisme politik," ujar Mulyana.

Perubahan fundamental dalam konstitusi jelas harus merupakan formulasi dan konstruksi gagasan konstitusional strategis yang berwawasan ke depan serta perlu dilakukan melalui meknisme-mekanisme partisipasi publik yang lebih luas. "Saya kira untuk menetapkan penggantian UUD perlu waktu yang lebih panjang. Ada pasal-pasal yang memang butuh kajian yang mendalam dan public hearing," katanya.

Menurut Mulyana, secara politik Sidang Tahunan pada mulanya lebih diarahkan pada upaya untuk formalisasi dan legalisasi "ofensif parlementer" yang sudah berlangsung sebelumnya, "intervensi konstitusional" sejauh mungkin terhadap implementasi GBHN oleh presiden, serta restriksi otoritas presiden Abdurrahman Wahid.

Kudeta konstitusional

Lebih jauh, intervensi konstitusional tersebut telah didorong menjadi rangkaian penjajakan "kudeta konstitusional" melalui pemikiran dan desakan. Indikasinya ada empat hal.

Pertama, tekanan untuk memformulasikan pemberian tugas Presiden kepada Wakil Presiden (Wapres) ke dalam sebuah Tap MPR yang isinya sedemikian rupa, sehingga harus diinterpretasikan sebagai "pelimpahan wewenang kepada Wakil Presiden".

Gagasan ini merupakan versi lunak dari "kudeta konstitusional" yang moderat, sehingga mirip perlakuan institusional MPRS terhadap presiden Soekarno sebelum pengangkatan resmi Soeharto pada tahun 1968.

Kedua, pemikiran untuk menggunakan Pasal 3 tap MPR No.VII/MPR/1973 tentang keadaan Presiden dan atau Wapres berhalangan. Ketiga, terdapat juga pandangan untuk kembali menggunakan pasal 8 UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional pergantian presiden Soeharto oleh Wapres BJ.Habibie.

Walaupun tidak muncul secara resmi, karena mulai digemakan, jelas telah terdapat pemikiran untuk pergantian Presiden oleh Wapres sampai habis waktu masa jabatan oleh karena presiden "tidak dapat melakukan kewajibannya." Pandangan ini mewakili versi keras dari "kudeta konstitusional".

Keempat, pemikiran dan usaha untuk melahirkan Tap MPR yang merekomendasikan penyelenggaraan Sidang Istimewa yang sudah dirintis sejak awal Sidang Tahunan MPR melalui perubahan Tata Tertib MPR. Walaupun kemudian ditiadakan, jika terlaksana berarti terbuka dua peluang untuk penyelenggaraan Sidang Istimewa, yang ujung-ujungnya dapat berakhir pada pemberhentian presiden dalan masa jabatan.

Sikap sejumlah "vokalis" dari fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat mengalami perubahan, sehingga gagasan-gagasan yang dipaparkan tersebut disepakati untuk ditampung dalam Rantap tahunan lembaga-lembaga tinggi Negara pada Sidang Tahunan Tahunan MPR tahun 2000.

"Namun mekanisme konstitusional apapun yang digunakan MPR mengharuskan kita untuk berfikir kritis tentang rapuhnya sendi dan prosedur sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan negara yang secara formal telah berjalan lebih dari 40 tahun, " kata Mulyana.

Jauh dari harapan

Mulyana berpendapat, Sidang Tahunan tidak merinci lebih jauh rekomendasi kepada DPR yang berkaitan dengan Pasal 20 perubahan pertama UUUD 1945. Dalam pasal tersebut, DPR mempunyai kekuasaan untuk membentuk Undang-undang. Maka, seharusnya fungsi legislasi ini adalah fungsi yang harus memperoleh perhatian yang lebih dari DPR.

KIPP menilai selama ini kinerja DPR dalam melaksanakan fungsi legislasinya itu masih jauh dari harapan. "Masih ada beberapa Undang-undang yang merupakan sisa pemerintahan masa Habibie yang belum digarap. Lalu masih ada Undang-undang yang penting seperti RUU Peradilan HAM yang belum selesa," ujar Mulyana.

Dalam rekomendasi DPR, hal tersebut tidak disorot lebih rinci. Padahal nanti amandemen ini harus menjadi arah pembentukan dan pembaharuan produk-produk legislasi nasional. Begitu pula rekomendasi terhadap lembaga-lembaga tinggi yang lain, seperti DPA, BPK, dan MA.

Mulyana menyatakan, ketetapan yang banya disorot karena mengandung nilai dan norma politik "kontra reformasi" adalah Tap MPR tentang peran TNI/Polri yang masih memberikan tempat pada TNI/Polri untuk menentukan arah kebijakan negara melaui wakilnya di MPR paling lambat hingga tahun 2009.

Sebaliknya menurut Mulyana, Sidang Tahunan serta hasil-hasilnya nampak teralienasi dari isu-isu kerakyatan seperti kebijakan penanggulangan kemiskinan, reformasi agraria, politik perburuhan, dan lain-lain.

 

 

 

 

 

 

 

Tags: