Penyusunan RPP Sektor Pertanahan dan Tata Ruang Rampung
Berita

Penyusunan RPP Sektor Pertanahan dan Tata Ruang Rampung

Lima RPP dan 1 RPerpres diharapkan dapat ditandantangani presiden pada Desember 2020. Konsorsium Pembaharuan Agraria menilai UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi; UU No.5 Tahun 1960; dan TAP MPR IX Tahun 2001.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Sosialisasi secara terus-menerus memang perlu dilakukan. Hal ini disebabkan masih ada masyarakat yang belum mengetahui sisi positif dari UU Cipta Kerja. "Untuk itu, RPP yang telah selesai disusun ini kiranya juga dapat mengadopsi aspirasi semua lapisan masyarakat karena kita semua tidak mau jika nantinya UU Cipta Kerja ini tidak bisa diimplementasikan.”

Menurutnya, keberadaan UU Cipta Kerja sangat dibutuhkan untuk mendukung Indonesia menjadi negara yang mampu menunjukkan potensinya. Selama ini, hambatan yang mengganjal berkembangnya bangsa Indonesia justru banyak berasal dari dalam negeri, salah satunya banyaknya regulasi (yang tumpang tindih, red).

Banyak sekali peraturan perundang-undangan yang ada, antara lain menurut identifikasi pemerintah ada 79 peraturan perundang-undangan yang menghambat investasi, sehingga sulit membuka lapangan pekerjaan baru. Konsep metode omnibus law untuk menyusun UU Cipta Kerja ini yang dipakai pemerintah untuk mensinkronkan 76 UU dalam 1 UU Cipta Kerja. Selain dapat mendorong kemudahan berusaha yang berimbas pada penciptaan lapangan kerja baru, UU Cipta Kerja beserta RPP turunannya dapat menjamin kemakmuran masyarakat di masa mendatang.

"Saat ini, negara kita mengalami bonus demografi, dengan kondisi angkatan kerja kita yang melimpah. Tetapi apabila tidak ada lapangan pekerjaan akan membahayakan generasi kita. Jika hal ini terjadi, kita akan terjebak dalam kondisi middle income trap. Padahal banyak perusahaan-perusahaan multinasional dan konsultan yang memperkirakan Indonesia tahun 2045 nanti, masuk jajaran big five negara di dunia. Momentum ini kita harus dimanfaatkan dengan cepat dan kita harus terus lakukan pemahaman terkait UU Cipta Kerja kepada masyarakat," katanya.

Bertentangan

Sebelumnmya, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (Sekjen KPA) Dewi Kartika berpendapat UU Cipta Kerja bertentangan dengan beberapa produk hukum, seperti konstitusi; UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; dan TAP MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Dia menilai UU Cipta Kerja ini hanya fokus pada kemudahan bagi investor skala besar di seluruh sektor. Mulai sektor pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, properti dan infrastruktur. Substansi UU Cipta Kerja dinilainya abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak atas sumber agraria yang telah dijamin Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Menurutnya, persoalan tumpang tindih peraturan bukanlah masalah baru di Indonesia. Dia menyebut di sektor agraria dan sumber daya alam, sebenarnya sudah terdapat mandat sejak terbitnya TAP MPR IX/2001 yang menugaskan presiden dan DPD agar mengkaji ulang dan mensinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan.

“Belum juga dilaksanakan mandat TAP tersebut, pemerintahan saat ini malah berkehendak mendorong satu produk UU yang justru bertentangan dengan mandat sebagaimana digariskan TAP MPR IX/2001,” katanya.

Tags:

Berita Terkait