Peraturan Presiden sebagai Solusi Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Kolom

Peraturan Presiden sebagai Solusi Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

Merujuk pada Pasal 12 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Bacaan 6 Menit

Namun, sayangnya kewenangan untuk membuat regulasi ini sering kebablasan. Terlalu banyak regulasi yang dibuat, terlalu sering regulasi diubah, bahkan begitu kuatnya ego sektoral masing-masing fungsi dalam pemerintahan. Akhirnya banyak tumpang tindih dan kontradiksi norma sebagaimana dinilai oleh The Global Business Complexity Index serta IHS Markit Report di atas.

Tentu akibatnya menyulitkan masyarakat serta pelaku usaha dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Kondisi semacam ini justru membuat Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dan peraturan perundang-undangan yang baik menjadi semakin tidak terwujud.

Pasal 12 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur, “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Dilanjutkan dalam Pasal 13 menyebutkan, “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan”.

Oleh karena itu, sebenarnya penyelenggaraan pemerintahan secara nyata (law in action) ada pada Peraturan Presiden. Jelas disebutkan fungsinya sebagai alat untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasan pemerintahan. Mengapa? Praktik kehidupan sehari-hari menunjukkan materi-materi yang diatur dalam undang-undang dan aturan pelaksananya kerap menimbulkan kontradiksi, duplikasi, dan ketidakpastian pengaturan. 

Salah satu contoh kongkrit adalah dalam urusan pengelolaan barang milik negara yang diperoleh dari perjanjian kontrak kerja sama (production sharing contract) pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Isi Pasal 67 ayat (1) PP 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyebutkan, “Tanah yang telah diselesaikan oleh Kontraktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 rnenjadi milik Negara dan dikelola Badan Pelaksana, kecuali tanah sewa”. Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) PP 27 Tahun 2014 jo. No.28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah secara tegas menyebutkan, “Barang Milik Negara/Daerah meliputi: a. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah; dan b. barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. (2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi; ...... salah satunya barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak”.

Namun pada praktiknya pengelola barang milik negara dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) c.q. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Alhasil Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebagai investor di kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi harus berurusan juga dengan Kemenkeu c.q. DJKN—selain dengan badan pelaksana (dulu BPMIGAS yang digantikan oleh SKK Migas).

Padahal PP mengenai kegiatan usaha hulu migas tegas menyatakan pengelolanya adalah badan pelaksana (dalam hal ini SKK Migas). Contoh lain tentang perbedaan pengaturan dan duplikasi kewenangan sangat banyak terjadi pada urusan perizinan.

Tags:

Berita Terkait