Perjanjian Pra Nikah Demi Melindungi Pasangan Suami-Istri
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Perjanjian Pra Nikah Demi Melindungi Pasangan Suami-Istri

Perjanjian pra nikah umumnya mengatur percampuran/pemisahan harta sebelum perkawinan atau selama perkawinan berlangsung. Tapi, perjanjian pra nikah juga bisa berisi semacam talak ta'lik yang diucapkan sesudah ijab kabul atau dibuat secara tertulis.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
  1. Harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
  2. Semua hutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka yang dibuat oleh mereka selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan suami atau istri.
  3. Istri akan mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil dan pendapatan baik hartanya itu maupun pekerjaannya atau sumber lain.
  4. Untuk mengurus hartanya itu, istri tidak memerlukan bantuan atau kuasa dari suami.
  5. dan lain sebagainya.

Dengan begitu, perjanjian pra nikah tergolong penting, apalagi ketika terjadi perselisihan yang berujung gugatan perceraian atau cerai talak ke pengadilan agama. Perjanjian pra nikah yang dibuat secara tertulis akan menjadi salah satu bukti yang dicermati majelis hakim. Misalnya, dalam putusan perkara cerai gugat yang diputus Pengadilan Agama Jakarta Selatan tertanggal 19 Oktober 2015.  

Sebelum menikah penggugat (istri) dan tergugat (suami) membuat akta perjanjian pra nikah yang dibuat dan ditandatangani di hadapan notaris sebelum mereka melangsungkan pernikahan (sebelum ijab qobul, red). Isi perjanjian itu intinya mengatur harta bawaan penggugat dan tergugat tetap dikuasai masing-masing. Perjanjian itu mendapat perhatian majelis hakim karena menjadi salah satu petitum yang diajukan penggugat agar para penggugat dan tergugat mematuhi perjanjian itu.

“Gugatan penggugat pada petitum angka 3 dapat dikabulkan dan pengadilan menghukum penggugat dan tergugat untuk mentaati kesepakatan sebagaimana akta perjanjian pra nikah,” begitu kutipan sebagian pertimbangan majelis.

Meskipun isi perjanjian perkawinan itu diserahkan kepada para pihak, perjanjian pra nikah ini tidak boleh bertentangan dengan hukum, UU, agama, dan kepatutan atau kesusilaan, Tak kalah penting para pihak harus memahami isi perjanjian itu. Jangan sampai ada pihak yang kemudian merasa dirugikan.

Misalnya, dalam perkara cerai gugat yang diputus Pengadilan Agama Ambarawa tertanggal 5 Juni 2017, pihak penggugat (istri) mempersoalkan isi dari perjanjian pra nikah yang dibuat sebelum menikah. Mengutip akta nikah, penggugat dan tergugat (suami) melakukan akad nikah pada 10 Maret 2008, tapi tahun 2013 penggugat baru mengetahui bahwa isi perjanjian pra nikah itu merugikan penggugat.

Penggugat tidak mengetahui isi perjanjian itu karena menggunakan bahasa Jepang. Perjanjian itu intinya penggugat tidak pernah mendapat harta dari tergugat dan semua harta penggugat dan tergugat selama perkawinan akan diberikan kepada anak-anak tergugat dari istri pertama. Baru diketahui ternyata tergugat sudah memiliki istri di Jepang sebelum penggugat dan tergugat menikah. Hasil perkawinan dengan istri pertama itu dikaruniai 3 anak.

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary berpendapat selain tentang percampuran/pemisahan harta, perjanjian pra nikah juga bisa berisi semacam talak ta'lik yang diucapkan sesudah ijab kabul. Hal ini bisa berarti suami melimpahkan hak talak pada istri dalam kondisi tertentu.

Menurut Tahir, beberapa hal yang bisa dimasukkan dalam perjanjian pra nikah, antara lain kalau suami memukul dengan cara tidak sayang dan istri keberatan, maka istri berhak mengadu ke pengadilan untuk minta cerai; kalau suami meninggalkan istri selama waktu tertentu beberapa bulan berturut-turut tanpa ada kabar, maka istri berhak mengadu ke pengadilan agama untuk minta cerai. Atau bisa memasukkan persyaratan bahwa suami tidak akan menikah lagi. Perjanjian itu harus dibuat sebelum pernikahan dan didaftarkan di KUA dan ditandatangani sebelum ijab kabul.

Dalam perkembangannya, perjanjian perkawinan ini tidak hanya dilakukan sebelum perkawinan, tapi boleh dibuat selama masih terikat perkawinan yang sah. Hal ini sebagaimana termuat dalamPutusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 terkait tafsir Pasal 29 ayat (1),  (3), (4) UU Perkawinan.

Tags:

Berita Terkait