Plus-Minus Omnibus Law Cipta Kerja di Mata Advokat
Utama

Plus-Minus Omnibus Law Cipta Kerja di Mata Advokat

Adanya perbedaan pandangan merupakan hal yang normal. Tentu saja, saluran bagi aspirasi dan masukan harus dibuka oleh pemerintah dan DPR.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Masih banyak peraturan perundang-undangan yang mengkategorikan perbuatan yang sebenarnya masuk dalam hukum administratif sebagai tindak pidana. Penegak hukum pun cukup aktif menggunakan peraturan pidana untuk peristiwa yang sesungguhnya adalah masalah perdata. Untuk itulah, pemerintah menjadikan sanksi pidana yang banyak menjadi momok kegiatan usaha, sebagai salah satu target yang akan diubah Omnibus Law,” paparnya.

 

Chandra memahami adanya reaksi beragam terhadap rencana pengundangan Omnibus Law. Sejumlah pihak yang menentang beranggapan bahwa Omnibus Law lebih memberikan kemudahan kepada pelaku usaha besar dan investor asing, namun mengancam UMKM. Menurut Chandra, tidak ada RUU yang sempurna, apalagi RUU semacam RUU Cipta Kerja yang memuat perubahan atas sekitar 1.200 Pasal di 79 UU.

 

“Adanya perbedaan pandangan merupakan hal yang normal. Tentu saja, saluran bagi aspirasi dan masukan harus dibuka oleh pemerintah dan DPR. Berdasarkan hitungan kami, paling lambat 10 April 2020, RUU Cipta Kerja sudah harus dibahas pemerintah bersama DPR. Ruang untuk perbaikan harus dibuka dalam pembahasan tersebut. Masyarakat harus dapat memberi masukan sebelum RUU disahkan menjadi undang-undang, antara lain melalui forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), konsultasi, atau lainnya,” jelas Chandra.

 

Chandra mengakui masih ada beberapa ketentuan yang harus ditinjau ulang dan diperbaiki. Misalnya, Pasal 170 RUU Cipta Kerja. Pasal ini telah mengaburkan tata urutan perundang-undangan karena memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengubah berbagai materi UU melalui Peraturan Pemerintah (PP).

 

Tags:

Berita Terkait