Presiden Boleh Kampanye-Memihak, YLBHI: Pernyataan Presiden Jokowi Merusak Demokrasi
Melek Pemilu 2024

Presiden Boleh Kampanye-Memihak, YLBHI: Pernyataan Presiden Jokowi Merusak Demokrasi

Melanggar aturan netralitas pejabat negara dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Presiden Boleh Kampanye-Memihak, YLBHI: Pernyataan Presiden Jokowi Merusak Demokrasi
Hukumonline

Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut pejabat publik, seperti Presiden sampai Menteri boleh berkampanye dan memihak jelas menuai protes keras dari kalangan masyarakat sipil pro demokrasi. Ketua YLBHI Muhammad Isnur menilai sikap Presiden Jokowi yang melontarkan pernyataan itu adalah bentuk penyalahgunaan wewenang dan merusak demokrasi. Seharusnya DPR dan partai politik serta penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu harus cepat merespon, jangan diam.

YLBHI mencatat setidaknya 4 hal. Pertama, klaim Presiden Jokowi yang menyebut pejabat publik seperti Presiden sampai menteri boleh berkampanye dan berpihak adalah bahaya dan menyesatkan serta merusak demokrasi dan negara hukum. “Jika dibiarkan sikap ini akan melegitimasi praktik konflik kepentingan pejabat publik, penyalahgunaan wewenang, dan fasilitas negara yang tegas dilarang,” kata Isnur saat dikonfirmasi, Kamis (25/1/2024).

Baca Juga:

Isnur mengingatkan Pasal 281 ayat (1) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur “Pejabat Negara, Pejabat Struktural, Pejabat Fungsional dalam Jabatan Negeri, serta Kepala Desa dilarang membuat Keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.” Termasuk Pasal 283 UU 7/2017 juga menegaskan pejabat negara serta aparatur sipil negara (ASN) dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan kepada peserta pemilu, sebelum, selama dan sesudah kampanye.

Aturan serupa juga diatur TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Etika Politik dan Pemerintahan mengharuskan setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan Masyarakat. Etika ini harus diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

Kedua, Isnur menyebut Presiden Jokowi mengabaikan aturan main pemilu soal netralitas pejabat negara dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Sikap ini menunjukkan konflik kepentingan Presiden yang memperbolehkan dirinya, para menteri maupun pejabat publik di bawahnya melakukan pelanggaran prinsip pemilu dengan legitimasi praktik konflik kepentingan dirinya sendiri karena anaknya menjadi salah satu pasangan calon presiden maupun para pejabat publik lainnya yang memiliki kepentingan dalam Pemilu 2024.

“Hal ini jelas bentuk penyalahgunaan wewenang oleh Presiden sebagai kepala negara maupun kepala pemerintah yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Pemilu yang seharusnya jujur, netral, independen dan adil,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait