Prof. Atip Latipulhayat: Arah Baru Hukum Internasional Perlu Dikawal, dari Eurosentrisme Menuju Pluralisme
Pengukuhan Guru Besar

Prof. Atip Latipulhayat: Arah Baru Hukum Internasional Perlu Dikawal, dari Eurosentrisme Menuju Pluralisme

Mewujudkan norma hukum internasional yang berbasis pluralisme nilai dan budaya berbagai bangsa di dunia. Indonesia perlu terus menerus berpartisipasi aktif membentuk norma hukum internasional yang melindungi kepentingan nasionalnya.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Namun Atip tidak bermaksud menafikan eksistensi hukum internasional sebagai hukum yang mengikat negara-negara di dunia. Atip menyebutkan hakikat sejati dari hukum internasional ialah norma yang merefleksikan nilai-nilai universal dari beragam nilai dan budaya berbagai bangsa di dunia. Hanya saja realita sejarah telah menempatkan nilai dan budaya bangsa Eropa menjadi nilai dan norma universal tersebut.

 

Masalahnya adalah realita tersebut cenderung masih berlanjut hingga sekarang. Kolonialisme dan imperialisme Eropa memang tinggal sejarah, namun norma dan praktik-praktik hukum internasional masih didominasi semangat kolonialisme Eropa.

 

Praktik anggota tetap Dewan Keamanan (PBB-red.) dalam menerapkan hak veto adalah contoh terbaik ketika tafsir kolonial diadopsi dalam hukum internasional modern, Atip memberi contoh.

 

Fakta menunjukkan bahwa hak yang diberikan kepada lima anggota tetap Dewan Keamanan justru digunakan untuk tujuan subjektif seperti yang terjadi pada era Perang Dingin. Termasuk veto terhadap keanggotaan Palestina di PBB oleh Amerika Serikat meskipun telah mendapat persetujuan mayoritas anggota lainnya. Alih-alih digunakan secara objektif dalam kerangka tanggung jawab menjaga perdamaian dan keamanan internasional, tujuan subjektif berbasis kepentingan nasional jutsru mewarnai penggunaan hak veto.

 

Di sisi lain, Atip melihat jalan untuk mewujudkan hukum internasional hakiki yang benar-benar berkarakter internasional telah semakin terbuka. Ia melacak fakta hingga ke masa Perang Dunia II yang menunjukkan usaha menggeser paradigma pembentukan hukum internasional dari “Western construct  ke “global construct telah terjadi.

 

Hukum internasional yang awalnya adalah “klaim  dengan sokongan kekuatan politik Barat mulai beralih menjadi  “persetujuanmasyarakat internasional. Pasca Perang Dunia II, negara-negara berkembang pun mulai mengambil peran penting dalam pembentukan hukum internasional.

 

Pengakuan rumusan isu universal seperti Hak Asasi Manusia, anti diskriminasi, bahkan konsep negara kepulauan—yang ikut diperjuangkan Indonesia—sebagai hukum internasional adalah sebagian bukti kuat. Pembentukan hukum internasional semakin mengakomodasi universalitas dan kepentingan supra-nasional yang sejati. Menurut Atip, universalitas sejati adalah penghormatan dan penerimaan terhadap budaya dan nilai bangsa lain.

Tags:

Berita Terkait