Prospek dan Tantangan Perkebunan Sawit Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja
Berita

Prospek dan Tantangan Perkebunan Sawit Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja

Kondisi buruh perkebunan tergolong memprihatinkan karena banyak pelanggaran hukum ketenagakerjaan. Karena itu, UU Cipta Kerja dinilai semakin memperburuk kondisi buruh perkebunan sawit yang menghilangkan kepastian kerja, kepastian upah, dan kepastian jaminan sosial dan kesehatan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Kendati pandemi Covid-19 melanda sepanjang tahun 2020, tapi konflik di perkebunan sawit tak menurun, bahkan dia mencatat jumlahnya meningkat. Konflik yang menimpa masyarakat tak jarang berujung kriminalisasi. Tercatat sekitar 10,8 persen konflik melibatkan masyarakat hukum adat. Kehadiran perkebunan sawit besar mengakibatkan masyarakat hukum adat kehilangan sumber penghidupan yang layak.

Selain itu, ada persoalan perburuhan di perkebunan sawit. Dari laporan yang disampaikan serikat buruh di perkebunan sawit, Inda menyebut ada kesamaan praktik ketenagakerjaan yang menyalahi aturan standar HAM di perusahaan sawit. Beberapa kasus perburuhan yang disoroti Sawit Watch, antara lain soal hubungan kerja dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan ada perusahaan sawit yang memotong upah buruh, tapi tidak disetor untuk membayar iuran ke BPJS. Ada juga perusahaan yang membayar buruh di bawah ketentuan upah minimum dan tidak memberikan hak cuti.

Baginya, UU Cipta Kerja semakin memperburuk kondisi buruh perkebunan sawit. Inda menyebut UU Cipta Kerja menghilangkan kepastian kerja, kepastian upah, dan kepastian jaminan sosial dan kesehatan. UU Cipta Kerja semakin memberatkan buruh perkebunan karena berpotensi melanggengkan status buruh kontrak atau harian lepas. Sawit Watch mencatat jumlah buruh di perkebunan sawit di Indonesia sekitar 20 juta orang dan lebih dari 60 persen merupakan buruh dengan hubungan kerja rentan.

“UU Cipta Kerja sama sekali tidak memenuhi kebutuhan buruh atas kepastian kerja, upah, perlindungan sosial dan hidup layak. UU Cipta Kerja justru melegitimasi praktik buruk perburuhan di perkebunan sawit,” paparnya.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, mengatakan UU Cipta Kerja diyakini dapat meningkatkan kemudahan berusaha. Beleid ini ditujukan untuk menyederhanakan, sinkronisasi, dan memangkas regulasi yang menghambat penciptaan lapangan kerja. “Dengan adanya UU Cipta Kerja, yang termasuk di dalamnya klaster ketenagakerjaan, akan dapat meningkatkan kemudahan berusaha di Indonesia, sehingga dapat dibayangkan investasi dan penciptaan lapangan kerja akan bisa jauh lebih besar lagi,” kata dia.

Bagi Ida, kehadiran UU Cipta Kerja membawa banyak manfaat bagi perlindungan dan peningkatan kesejahteraan pekerja. Misalnya, perlindungan bagi buruh yang kehilangan pekerjaan atau menganggur. Perlindungan itu akan diberikan dalam bentuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang manfaatnya meliputi uang tunai, info pasar kerja, dan pelatihan kerja.

Tags:

Berita Terkait