Sanksi Tadabbur Bernama Cambuk
Qanun Jinayah:

Sanksi Tadabbur Bernama Cambuk

Hukuman cambuk sering dikritik, meski bukan menjadi diskursus utama pemberlakuan syariat di Aceh. Perlu dipikirkan mekanisme yang lebih pas.

MYS/ADY/M-22
Bacaan 2 Menit
Bentuk sosialisasi Qanun Jinayah di salah satu sudut jalan raya di Banda Aceh. Foto: MYS
Bentuk sosialisasi Qanun Jinayah di salah satu sudut jalan raya di Banda Aceh. Foto: MYS
Halaman Masjid Agung Sinabang, 12 Desember 2015. Usai shalat Jum’at, ratusan warga berduyung-duyung mendekati panggung yang sengaja dipasang di halaman masjid. Lima pria berpakaian putih secara bergiliran menerima cambukan 7-8 kali masing-masing dari eksekutor yang identitasnya dirahasiakan.

Salah seorang terpidana adalah anggota DPRD Kabupaten Simeulue. Ia bersama keempat rekannya menjalani eksekusi cambuk lantaran terbukti berjudi. Mereka melanggar larangan maisir (judi) yang sudah ditetapkan dalam Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir.

Hukuman cambuk merupakan salah satu jenis hukuman yang dapat ditetapkan majelis hakim Mahkamah Syar’iyah di Aceh terhadap terdakwa yang melanggar qanun jinayah. Namun yang paling menyakitkan adalah sanksi sosial. Bayangkan, saat hukuman cambuk dijalankan, ratusan warga menonton, termasuk anak-anak.

Eksekusi di tempat terbuka dan ditonton anak-anak itulah yang merisaukan pengamat masalah hak asasi manusia di Aceh, Hendra Saputra. Koordinator KontraS Aceh ini menyayangkan cara eksekusi yang bersifat terbuka. “Kalau seperti yang sekarang, di lapangan terbuka, dipertontonkan ke khalayak ramai, itu sangat disayangkan ketika yang menonton ada anak-anak. Lebih bagus kalau dilakukan di ruang tertutup,” ujarnya kepada hukumonline.

Foto proses eksekusi terhadap terpidana perjudian di Sinabang itu juga terpampang di media lokal, antara lain Serambi Indonesia esok harinya. Terpidana tak hanya menanggung rasa malu terhadap ratusan warga yang menonton, tetapi juga terhadap orang yang melihat foto mereka di media massa.

Namun inilah salah satu tujuan penjatuhan hukum dalam qanun jinayah. Tadabbur (pembelajaran kepada masyarakat) telah menjadi salah satu asas yang tercantum dalam Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Qanun terbaru ini menyatakan tidak berlaku lagi Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir tadi.

Tabel- Contoh Perbuatan yang Diancam dengan Cambuk
CambukPerbuatan (Jarimah)
40 kali Dengan sengaja minum khamar
60 kali Memproduksi, menyimpan, menjual khamar
12 kali Berjudi dengan nilai taruhan maksimal 2 gram emas murni
30 kali Berjudi dengan nilai taruhan di atas 2 gram emas murni; melakukan ikhtilath.
45 kali Menyediakan fasilitas perjudian; melakukan pelecehan seksual
10 kali Melakukan khalwat
100 kali Berzina; liwath; musahaqah
100-150 kali Memperkosa

Tabel ini hanya beberapa contoh frekuensi maksimal peneraan cambuk untuk jenis tindak pidana tertentu. Jika korban dari perbuatan itu adalah anak-anak, qanun menaikkan jumlah hukuman cambuk yang akan ditanggung pelaku.

Perlu dipertimbangkan
Penjatuhan hukuman cambuk itu sudah lama mendapat perhatian para pemerhati HAM. Tetapi menurut Otto Nur Abdullah, komisioner Komnas HAM, secara institusi Komnas HAM belum pernah melakukan kajian khusus tentang Qanun Jinayah dan belum ada pengaduan masyarakat.

Senada dengan Hendra Saputra, Otto juga melihat ada persoalan pada penerapan hukuman cambuk di depan umum. Ia mempertanyakan apakah tujuan penerapan hukum Islam untuk mempermalukan sehingga eksekusi putusan cambuk dilakukan di depan umum. Sebaliknya, jika tujuannya untuk efek pertaubatan, eksekusi cambuk di depan publik patut dikaji ulang.

“Kalau hukum Islam memberi efek jera, ya, memang dilakukan di depan publik. Begitu juga untuk mencari efek dipermalukan. Tetapi apakah hukum Islam demikian? Kalau hukum Islam memberi kemaslahatan dengan memberi efek taubat, maka penghukuman di depan publik harus dipertimbangkan,” ujarnya. Mempertontonkan di depan anak-anak menjadi salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dengan kritik.

Persoalannya, tujuan penghukuman itu tidak menjadi bagian utama diskursus penerapan syariat. Ulama lebih berdebat tentang dijalankan atau tidak, sehingga penerapan qanun cenderung positivistik. Adi Hermansyah, dosen FH Unsyiah, pernah menulis tesis magister di Universitas Diponegoro tentang penanggulangan kejahatan dengan pidana badan dengan mengambil contoh di Aceh. Dalam abstrak tesisnya, Adi menyebutkan di Fiji, Malaysia, dan Singapura hukuman cambuk dilakukan di tempat tertutup.

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ciputat, Khamami Zada, melihat aspek finansial dari eksekusi cambuk di depan publik. Hukuman demikian relatif mahal, karena harus menyiapkan tenda, menyusun panitia, dan mendatangkan dokter. Pertanyaannya, apakah pemerintah daerah sudah menyiapkan dana untuk pelaksanaan hukuman cambuk tersebut? Khamami khawatir pemerintah daerah tidak siap mengalokasikan dana untuk proses eksekusi terbuka.
Tags:

Berita Terkait