Simak! Tafsir MK Terhadap Ketentuan Pengampuan dalam KUHPerdata
Utama

Simak! Tafsir MK Terhadap Ketentuan Pengampuan dalam KUHPerdata

Perubahan makna Pasal 433 KUHPerdata mengandung makna bahwa pengadilan negeri dalam mengadili permohonan penetapan pengampuan mempunyai pilihan yang lebih leluasa manakala berhadapan dengan fakta hukum adanya disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada seseorang. MK menganggap lembaga pengampuan tetap diperlukan.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit

Penjatuhan putusan/ketetapan dimaksud harus benar-benar didasarkan pada fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan, termasuk yang paling esensial adalah memperhatikan hasil pemeriksaan ahli yang berwenang serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur Pasal 33 UU Penyandang Disablitas jo Pasal 436 s.d. Pasal 446 KUHPerdata. 

“Sebenarnya seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang tidak permanen dan sedang dalam keadaan cakap, tetap mempunyai kebebasan memilih apakah akan menggunakan skema pengampuan, skema pendampingan, atau bahkan skema lain yang sudah dikenal dan dipraktikkan di luar wilayah hukum keperdataan. Sebab, keputusan atas diri atau kehendak pribadi subjek hukum dalam wilayah keperdataan tergantung dari kepentingan diri pribadi yang bersangkutan,” demikian bunyi pertimbangan MK.

Bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang permanen, setelah melalui pembuktian yang ketat, pengadilan tetap terikat untuk menetapkan bahwa yang bersangkutan ditaruh di bawah pengampuan serta, setelah melalui pembuktian ketat pula, menetapkan atau menunjuk pengampu (curator) yang benar-benar mampu dan dapat bertanggung jawab mengurus kebutuhan yang tidak boleh merugikan pihak terampu (curandus).

“Untuk mengurangi bahkan menutup potensi penyalahgunaan lembaga pengampuan, Mahkamah menegaskan prosedur atau hukum acara pengampuan yang diatur di dalam KUHPerdata, UU 8/2016, harus diperiksa secara ketat oleh lembaga peradilan yang menangani permohonan pengampuan,” tegasnya.

Misalnya, pelibatan ahli di bidang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual menjadi prosedur wajib dalam perkara pengampuan untuk memastikan (menegakkan diagnosis) bahwa penyandang disabilitas yang dimohonkan diampu benar-benar dalam kondisi tidak cakap untuk berpikir dan bertindak secara wajar, sehingga pengadilan mempunyai landasan yang kuat untuk menetapkan apakah penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dimaksud tidak cakap hukum.

Dengan demikian, perubahan makna Pasal 433 KUHPerdata mengandung makna bahwa pengadilan negeri dalam mengadili permohonan penetapan pengampuan mempunyai pilihan yang lebih leluasa manakala berhadapan dengan fakta hukum adanya disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada seseorang. “Pengadilan negeri tidak lagi harus menetapkan seseorang dimaksud ditaruh di bawah pengampuan, pengadilan negeri dapat memutuskan mekanisme lain untuk membantu seseorang dengan disabilitas mental dan atau disabilitas intelektual terutama yang tidak permanen, misalnya menetapkan suatu pendampingan bagi yang bersangkutan.”

Tags:

Berita Terkait