Tambal Sulam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU
Kolom

Tambal Sulam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU

Sejumlah ketentuan baru dari sikap pengadilan menuntut adanya revisi atas UU Kepailitan dan PKPU.

Bacaan 5 Menit

Proposal Perdamaian Hanya Satu Kali

SEMA Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 menyatakan, “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Debitor yang dinyatakan pailit akibat rencana perdamaian ditolak oleh kreditor sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 289 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak dibenarkan mengajukan lagi rencana perdamaian”.

Secara praktik, debitur yang dinyatakan pailit akibat ditolaknya rencana perdamaian dalam proses PKPU kerap mengajukan kembali rencana perdamaian dalam proses kepailitan. Hal ini kemudian menimbulkan proses yang berlarut-larut. Mahkamah Agung mengambil sikap dengan membatasi pengajuan proposal perdamaian hanya bisa satu kali oleh debitur.

Upaya Hukum dalam PKPU

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 menyatakan, “Norma Pasal 235 ayat (1) yang menyatakan “terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun” dan Pasal 293 ayat (1) yang menyatakan “terhadap putusan pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini” UU 37/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dikecualikan diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor”.

Selanjutnya SEMA Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 menyatakan dua hal. Pertama,“Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh kreditor yang rencana perdamaiannya ditolak oleh kreditor, dapat diajukan upaya hukum kasasi dan apabila upaya hukum kasasi dikabulkan maka amarnya membatalkan putusan pengadilan niaga pada pengadilan negeri, dan menyatakan debitor tidak dalam keadaan pailit”. Kedua, “Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPU S) ataupun PKPU Tetap tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi”.

Selama 17 tahun berlakunya UU Kepailitan dan PKPU tidak membolehkan upaya hukum atas putusan PKPU. Hal ini mendorong salah satu debitur mengajukan permohonan uji konstitusional atas pemberlakuan beberapa pasal UU Kepailitan dan PKPU terkait. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya membuat dua kaidah hukum baru. Pertama, putusan PKPU dapat diajukan upaya hukum kasasi. Kedua, putusan pailit akibat ditolaknya proposal perdamaian oleh kreditur juga dapat diajukan upaya hukum kasasi.

Dua kaidah hukum itu menjadi kabar baik bagi debitur yang bisa lebih maksimal mempertahankan haknya dari upaya tidak baik kreditur. Namun, terdapat kontradiksi yang tertuang dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2022 terkait upaya hukum atas putusan PKPU.

Permohonan atas Koperasi dan Koperasi LMK

SEMA Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 menyatakan dua hal. Pertama,“Permohonan Pernyataan Pailit dan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Koperasi hanya dapat diajukan oleh Menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang perkoperasian”. Kedua, “Permohonan Pernyataan Pailit dan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Koperasi yang menjalankan usaha Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang izinnya dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya dapat diajukan oleh OJK”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait