The Prince
Tajuk

The Prince

Hari-hari mendatang sungguh mencemaskan, di sini, di negara yang dibangun oleh para pendiri Republik ini sebagai negara milik semua kawula, bukan milik para pangeran.

Arief T Surowidjojo
Bacaan 4 Menit

Menarik bahwa substansi dalam The Prince yang sudah berumur 500 tahun lebih ternyata masih relevan untuk dibicarakan dan dijalankan dalam praktik politik saat ini. Menurut data, akan ada sekitar 40 negara berdaulat yang akan menyelenggarakan pemilu tahun 2024, termasuk Indonesia. Pemilu menggambarkan kualitas demokrasi dan praktik politik suatu negara. Suatu pemilu yang diselenggarakan dengan cara demokratis belum tentu menghasilkan pemerintahan dan pimpinan yang demokratis. Kita melihat contoh yang lalu di AS pada waktu Donald Trump dalam pemilu yang demokratis terpilih dan mungkin akan terpilih lagi dalam pemilu AS 2024. Kita tahu seperti apa kualitas kepemimpinan Donald Trump dalam pemerintahannya di AS yang lalu. Kita juga melihat pemilu di Belanda yang baru saja berlalu, dan tentunya terselenggara secara sangat demokratis, tetapi ternyata menghasilkan pemimpin seperti Geert Wilders, tokoh ultra kanan yang rasis (anti imigran dan anti Islam), yang menguasai 37 kursi di parlemen sehingga partainya, PVV, menjadi partai ultra kanan yang paling banyak suaranya di parlemen Belanda. Suatu sejarah baru dalam politik Belanda.

Kita bisa berandai-andai, kalau dalam pemilu yang sangat demokratis saja bisa dihasilkan pemimpin yang kualitasnya seperti contoh-contoh di atas, bagaimana kalau pemilu yang diselenggarakan suatu negara ditengarai penuh dengan kecurangan, kebohongan, cara-cara melawan konstitusi, rekayasa di badan peradilan, penggunaan fasilitas negara, penekanan kepada para peserta lain dan pemilih. Bisa kita bayangkan bahwa pemilu yang tidak demokratis ini sangat bisa memberikan hasil yang lebih buruk. Logika dasarnya, kalau pemilu demokratis saja bisa menghasilkan pemimpin yang buruk, pemilu yang tidak demokratis tentu bisa menghasilkan pemimpin yang tidak akan peduli dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Kalau dulu kita mengganti jargon “politik adalah panglima” menjadi “hukum adalah panglima”, maka justru di sinilah letak persoalan terbesarnya.

Cara-cara Machiavelli sekarang ini dilakukan dalam bungkus dan koridor hukum sehingga praktik-praktik yang tidak demokratis dipantas-pantaskan untuk mendapat legitimasi dan perlindungan hukum. Apa yang dipraktikkan tersebut kini dikenal dengan sebutan praktik illiberal democracy. “The rulers of an illiberal democracy may ignore or bypass constitutional limits on their power (Mounk, Yascha, The People Vs Democracy, 2020). Elections in illiberal democracy are often manipulated or rigged, being used to legitimize and consolidate the incumbent rather than to choose the country’s leaders and policies (Nyyssônen, Heino, Metsàlà, Liberal Democracy and its Current Illiberal Critique, The Emperor’s New Clothes?, 2020)”. Menangkis ini, para Machiavellian tentu dengan santai akan menjawab: “kita kan bukan penganut demokrasi liberal… “

Mungkin Russel yang berjumpa Machiavelli di ‘dunia’ sana akan kembali mengutuk Machiavelli, dengan mengatakan “The Prince is a handbook for leaders who manipulate people, and who are now using it under the banners of constitution, law and democracy. Kita tunggu saja apakah mimpi buruk yang sedang kita alami ini hanya sekadar mimpi di siang hari bolong, atau betul merupakan suatu kenyataan pahit yang harus kita telan. Hari-hari mendatang sungguh mencemaskan, di sini, di negara yang dibangun oleh para pendiri Republik ini sebagai negara milik semua kawula, bukan milik para pangeran.

Awal Desember 2023, Arief T Surowidjojo

Tags:

Berita Terkait