Tips Hukum Menangani Perkara Sengketa Tanah
Utama

Tips Hukum Menangani Perkara Sengketa Tanah

Modus operandi yang dilakukan mafia tanah beragam, sehingga pemilik sertifikat diminta untuk tidak sembarangan memberikan dokumen penting kepada orang lain.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Modus Operandi

Sengketa tanah yang berlabuh ke ranah pidana biasanya melibatkan mafia tanah. Keberadaan mafia tanah ini bukanlah merupakan hal baru dalam perkara pidana pertanahan. Dalam melakukan kejahatannya, mafia tanah melakukan beragam modus operandi dan melibatkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam pengurusan sertifikat tanah.

Wardan menyebut beberapa bentuk modus operandi yang dilakukan mafia tanah. Pertama seolah-olah menjadi pembeli dan meminjam sertifikat tanah dengan alasan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Saat sertifikat sudah diperoleh, mafia tanah akan melakukan pemalsuan sertifikat, menjual tanah tanpa sepengetahuan pemilik dengan melibatkan oknum-oknum yang memang sudah disiapkan. Untuk menghindari hal ini Wardan mengigatkan untuk tidak memberikan sertifikat kepada pihak lain, terutama pihak-pihak yang tidak dikenal.

Kedua, modus kepemilikan girik. Dalam satu kasus, kata Warda, terdapat kasus yang cukup menarik di mana sertifikat bisa dikalahkan oleh girik. Padahal pemilik tanah memiliki sertifikat yang dikeluarkan lima tahun lebih awal (1975) daripada klaim kepemilikan girik (1980). Saat proses di pengadilan, PN menolak mengabulkan gugatan pemohon, namun PTUN mengabulkan dan memerintahkan kantor pertanahan untuk membatalkan sertifikat yang diterbitkan than 1975. Untungnya di tingkat kasasi, MA membatalkan putusan PTUN tersebut.

“Ini sertifikat bisa dikalahkan oleh girik. Putusan MA kemudian memenangkan kita dan putusan cukup bagus, seperti ini modus-modus yang coba dilakukan oleh para mafia tanah,” paparnya.

Ketiga, dengan melibatkan broker dan oknum notaris. Pada beberapa kasus, penjualan tanah dilakukan oleh broker. Pihak broker melakukan penipuan dengan memanfaatkan kondisi fisik pemilik sertifikat tanah karena faktor usia untuk memainkan harga jual tanah. Ketidaktelitian dan ketidakpahaman pemilik sertifikat dijadikan alat oleh broker untuk menjalankan modusnya dimana harga penjualan tanah pada AJB tidak sesuai dengan jumlah dana yang diserahkan kepada pemilik sertifikat tanah. Kasus semacam ini biasanya melibatkan oknum notaris.

“Ini terjadi ketika korban rata-rata orang tua.  Orang tua yang sudah berumur tidak mungkin memahami harga pasaran, tidak terlalu begitu memperhatikan surat-surat, sering lupa ingat. Dalam satu kasus ada broker yang berhasil menjual tanah seharga Rp32 miliar, tapi yang diserahkan kepada pemilik sertifikat hanya Rp16 miliar. Di sini peran notaris dalam konteks jual beli patut diduga bermain dan ini modus-modus yang sering kami temukan,” imbuhnya.

Untuk menghindari mafia tanah ini, Wardan meminta semua pihak untuk memastikan bahwa sertifikat tanah yang mereka miliki adalah asli dan real. Hal ini mengingat kerja mafia tanah yang tersistematik dan memiliki tim sendiri pada lapisan pejabat yang berwenang menangani sertifikat tanah.

Kemudian pemilik sertifikat diminta untuk tidak sembarangan memberikan dokumen pribadi seperti KTP, NPWP dan sertifikat tanah itu sendiri. Pasalnya, pemalsuan dokumen semacam itu bukanlah hal sulit yang dilakukan oleh mafia tanah.

Dan jika ingin melakukan jual beli tanah, wajib melakukan validasi notaris. Sebaiknya menggunakan notaris yang memiliki rekam jejak dan reputasi baik.

“Kemudian saran saya jangan memberikan kesempatan kepada sembarang orang untuk mengakses dokumen legal. Selama ini modus-modus seperti ini bisa lolos karena ada oknum yang bermain,” pungkasnya. 

Tags:

Berita Terkait