Mendorong Industri Jasa Hukum Masuk dalam Revisi UU Advokat
Utama

Mendorong Industri Jasa Hukum Masuk dalam Revisi UU Advokat

Arsul berpesan sebelum membahas mengenai bagaimana merumuskan format masa depan industri jasa hukum di Indonesia, agar persoalan mengenai polemik bentuk organisasi advokat diselesaikan terlebih dahulu hingga ada kesepakatan bersama.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES

Industri jasa hukum advokat terus berkembang, bahkan sudah semakin menglobal. Buktinya, sudah banyak advokat Indonesia yang berkiprah di kancah internasional dan banyak advokat asing yang sudah berpraktik di Indonesia. Meski sudah ada UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, tapi hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur industri jasa hukum advokat yang terus berkembang.

“Industri jasa hukum ini seharusnya diatur dalam revisi UU Advokat agar bisa mengadaptasi dengan perkembangan dunia advokat di Indonesia. Sebab, perkembangan zaman semakin menglobal dari waktu ke waktu yang harus dianstisipasi,” kata Anggota Komisi III DPR Arsul Sani dalam Webinar Series 2020 Lawfirm Management Series Part 3 bertajuk “Internationalization of Legal Practice belum lama ini.

Arsul mengatakan selama ini para advokat bangga dengan profesinya yang bebas, mandiri, dan independen dengan kode etiknya. Namun, mereka lupa saat ini industri jasa hukum Indonesia sudah merambah dunia internasional dan banyak advokat asing masuk ke Indonesia. (Baca Juga: Nasib RUU Advokat Juga Tergantung Organisasi Advokat)

Untuk itu, era globalisasi saat ini mindset advokat dan kebijakan industri jasa hukum pun harus berubah dan menyesuaikan. Jika tidak justru akan dapat mengancam advokat Indonesia sendiri. “Kalau mindset-nya sudah berubah, kita kita dapat merumuskan kebijakan bersama tanpa melanggar kode etik advokat. Ini harus lebih banyak inisiatif dalam pembahasan revisi UU Advokat,” harapnya.

“Jadi, jangan berpikir keterlibatan pihak lain (DPR, red) dipandang sebagai sebuah ‘hantaman’ independensi atau kemandirian profesi advokat, tetapi justru harus merumuskan bersama bagaimana kita mengantisipasi perkembangan industri jasa hukum ke depan,” kata Arsul.

Tentunya, kata dia, industri jasa hukum sebisa mungkin bermanfaat bagi advokat Indonesia dalam mengembangkan kantor hukumnya dan bijak melibatkan advokat asing untuk berpraktik di Indonesia. “Ini yang harus kita pikirkan bersama.”

Belum lagi, faktanya banyak orang Indonesia yang bersekolah hukum di luar negeri yang meraih gelar Bachelor of Law dan belum bisa berpraktik menjadi advokat di Indonesia. “Ini harus segera diatur regulasinya (melalui RUU Advokat, red). Saya menghitung kurang lebih ada 100-an orang bergelar Bachelor of Law, harus kita dorong agar industri jasa hukum terus berkembang di negeri sendiri melalui anak-anak Indonesia yang telah berkuliah keluar negeri dan kembali ke Indonesia,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait