Yanto, Hakim yang Bercita-cita Sebagai Guru Olahraga
Wawancara

Yanto, Hakim yang Bercita-cita Sebagai Guru Olahraga

Bagaimana siasat PN Jakarta Pusat bersidang saat pandemi hingga menuju ‘era terang’ dalam proses persidangan juga diceritakan Yanto sebelum purna di PN Jakarta Pusat.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ketua PN Jakarta Pusat Yanto. Foto: RES
Ketua PN Jakarta Pusat Yanto. Foto: RES

Tidak mudah untuk mengurus Pengadilan Kelas IA Khusus seperti pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyidangkan berbagai jenis perkara mulai dari pidana umum, pidana khusus seperti terorisme, tindak pidana korupsi hingga perdata umum dan perdata khusus hingga pengadilan niaga. Apalagi di tengah pandemi seperti ini pengadilan juga dituntut melakukan sidang secara online. Namun Yanto, bisa melakukan itu.

Tak kurang selama tiga tahun selama menjadi pimpinan tertinggi di lokasi tersebut ia telah melakukan sejumlah perubahan, di antaranya dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), melaksanakan e-court dan e-litigasi, membuat sistem surat menyurat melalu e-persuratan hingga melakukan inovasi terkait dengan pengajuan aparat penegak hukum untuk penyitaan, geledah hingga perpanjangan penahanan dengan sistem khusus yang disebut “Era Terang”.

Sebelum menduduki jabatan baru sebagai Hakim Tinggi PT Denpasar, Bali, Hukumonline berkesempatan mewawancarai pria yang juga hobi menjadi dalang ini dengan tetap melakukan physical distancing sesuai anjuran pemerintah. Berikut kutipan wawancaranya.

Selama awal pandemi masa kepemimpinan Pak Yanto banyak perkara di PN Pusat, bagaimana cara siasati proses sidang?

Masih ingat saya diumumkan Sabtu malam itu, (Covid-19 diumumkan masuk Indonesia pada awal Maret 2020) kemudian Senin pagi mengadakan rapat dengan teman teman hakim dan pejabat struktural, waktu itu yang terpikir penyemprotan semua. Kemudian pemasangan hand sanitizer, kemudian cuci tangan di setiap pintu masuk lift kami siapkan, berikutnya karena pengunjung banyak untuk mengurangi itu kami mengundang Kajari, KPK, lapas, rutan. Bagaimana kalau konsep persidangan kita bikin teleconference untuk menghindari pertemuan antara pengunjung dan penegak hukum. Setelah kita kumpulkan ternyata mereka sepakat setuju, karena kita sampaikan juga waktu sidang bom bali itu teleconference.

Kebetulan pengadilan ada dua ruang sidang yang bisa teleconference, satu ruang Kusumaatmadja dan Hatta Ali, yang berikutnya KPK beri hibah 4 alat teleconference, jadi PN Jakarta Pusat sekarang punya 6 ruang teleconference yang kameranya sudah kamera putar.

Tapi yang jadi kendala, kalau untuk Tipikor sudah tidak ada kendala, hanya pidana umum. Karena rutan cuma punya dua ruang sidang satu Jakarta Barat satu lagi untuk kita (Jakarta Pusat). Itu kendalanya sehingga antre untuk pidana umum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait