Memahami Skema Pengenaan Pajak pada Game
Berita

Memahami Skema Pengenaan Pajak pada Game

Popularitas produk digital di Indonesia yang kian menanjak membuat pemerintah akan mengenakan pajak pada produk digital, seperti streaming music hingga aplikasi dan permainan digital (game).

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Pengenaan Pajak pada Game. Foto: istimewa.
Pengenaan Pajak pada Game. Foto: istimewa.

Jangkauan luas perkembangan teknologi yang semakin pesat turut menjadi faktor pendorong perkembangan produk digital, tidak terkecuali olahraga elektronik (electronic sport—atau dikenal dengan e-sport). Indonesia pun tidak luput dari dampak perkembangan teknologi tersebut, mengingat konsumsi game di sini tidak dapat dipandang sebelah mata. Sebab, tidak hanya dianggap sebagai hiburan, dunia e-sport kini turut menambah lapangan kerja dengan memunculkan satu profesi baru: pemain profesional (atlet) e-sport.

 

Perangkat yang digunakan untuk e-sport pun mulai bervariasi. Dari yang tadinya terbatas pada komputer, kini e-sport dapat dimainkan secara mobile melalui ponsel pintar. Jenis permainannya juga semakin banyak, seperti halnya beberapa game terlaris di Indonesia: PUBG, Free Fire, atau Mobile Legend.

 

Selain perkembangan teknologi, kekuatan media sosial dalam menyebarluaskan informasi menjadi salah satu faktor pesatnya konsumsi permainan digital. Karakter pada game pun tidak lagi terbatas hanya ada pada game, melainkan kini dapat dimiliki dalam berbagai bentuk merchandise. Penjualan merchandise, skin senjata, atau karakter hero yang digunakan pada game inilah yang kemudian dilirik pemerintah menjadi objek yang dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

 

Mulai 1 Juli 2020, pemerintah telah membuat aturan pengenaan pajak pada produk digital yang beroperasi di Indonesia. Pembelian produk dan jasa digital dari pedagang atau penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) akan dikenakan PPN sebesar 10%. Pemerintah berharap, dengan meningkatnya pembelian produk dan jasa digital—pembayaran pajak atas PPN pada objek pajak barang digital dapat mendongkrak pendapatan negara. Adapun kebijakan tersebut dilakukan untuk melaksanakan Pasal 6 ayat 13a Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19, di mana pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 sebagai turunannya.

 

Walaupun kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menetapkan Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, tidak ada sesuatu yang baru dari regulasi ini. Dalam UU PPN yang saat ini berlaku di Indonesia, objek PPN termasuk pada:

 

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
  2. Impor Barang Kena Pajak.
  3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
  4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
  5. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

 

Pasal 3 ayat 3 a UU PPN menyebutkan, “Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang/Jasa Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang/Jasa Kena Pajak Tidak Berwujud tersebut.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait