Mengadili Isi Kepala Pegawai KPK
Kolom

Mengadili Isi Kepala Pegawai KPK

Kalau isi pikiran bisa dihukum, niscaya kita semua akan jadi kriminal.

Bacaan 5 Menit
Mengadili Isi Kepala Pegawai KPK
Hukumonline

Peradilan atas isi kepala pasti keji dan penuh stigma. Mulai dari yang mendakwa, yang membela diri, sampai yang menghakimi, pasti kesulitan dalam pembuktian. Tak seorangpun boleh dihukum karena isi pikiran apalagi wawasannya. Kalau isi pikiran bisa dihukum, niscaya kita semua akan jadi kriminal.

Para pemikir hukum umumnya sepakat untuk tidak membenarkan penghukuman atas pikiran, walaupun dengan alasan berbeda-beda. Salah satu kutipan terkenal tentang ini adalah dari James Fitzjames Stephen (1883), yang menyatakan bahwa kalau kita menghukum setiap pikiran yang salah, maka “all mankind would be criminals, and most of their lives would be passed in trying and punishing each other for offenses which could never be proved.”

Banyak yang belum menyadari bahwa dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), ada 51 orang yang ditarget akan dipecat dengan alasan isi pikirannya tak berwawasan kebangsaan. Pemecatan adalah salah satu bentuk sanksi. Sementara, sanksi tidak boleh dijatuhkan atas isi kepala. Kecuali telah mewujud dalam perbuatan, pikiran tak seharusnya berbuah hukuman.

Para pegawai KPK ini akan dipecat bukan karena melakukan pelanggaran. Mereka bukanlah orang-orang yang mencuri barang bukti, menerima suap, ataupun mengendarai helikopter mewah. Mereka akan dipecat karena isi pikirannya telah diberi stigma tak berwawasan kebangsaan, bukan karena perbuatannya.

Parade stigma ini bahkan kemudian ditampilkan terbuka di hadapan publik. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengumumkan bahwa 51 pegawai KPK itu dinilai negatif untuk aspek yang merupakan “harga mati”, yaitu aspek PUNP (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah yang sah). Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan bahwa menurut asesor, 51 pegawai KPK ini “sudah merah”, tak mungkin dibina lagi, dan oleh karenanya tidak bisa bergabung lagi dengan KPK.

Stigmatisasi berujung pemecatan ini menciderai freedom of thought dan right of mental integrity. Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, dan bebas dari paksaan pemikiran. Memecat karena isi pikiran, bukan karena perbuatan, jelas melanggar hak asasi para pegawai KPK. Kita perlu waspada akan kemungkinan bahaya kekuasaan Orwellian yang hendak mengendalikan isi pikiran (thought policing), menghukum isi pikiran warganya (thought crime), dengan mengatasnamakan Pancasila, wawasan kebangsaan, atau yang lainnya.

Pemecatan ini juga bertentangan dengan penegasan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 70/PUU-VIII/2019. MK menegaskan bahwa pengalihan status pegawai KPK jadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat jadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan. Bahkan MK juga menjelaskan sebabnya, yaitu karena pegawai KPK selama ini telah mengabdi dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tak diragukan lagi.

Tags:

Berita Terkait