Apakah suatu badan hukum/perusahaan dapat melakukan gugatan/tuntutan atas pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong dari pemberitaan yang dilakukan oleh seseorang dan/atau badan hukum lain di suatu sarana media online maupun media cetak?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Jika ada sengketa antara media online dan media cetak dengan pihak yang merasa dirugikan atas suatu pemberitaan, pertama-tama dapat mengajukan hak jawab atau hak koreksi kepada pers yang bersangkutan. Jika hal tersebut tidak membuahkan hasil, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengadukan kepada Dewan Pers.
Namun, bagaimana jika pihak tersebut merasa tidak puas dengan rekomendasi dari Dewan Pers? Apakah pers, wartawan, ataupun narasumber berita dapat digugat secara perdata atau dituntut pidana?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Merujuk pada istilah “pemberitaan” yang Anda sebutkan dalam pertanyaan, kami berasumsi bahwa media online atau media cetak yang Anda maksud adalah pers sebagaimana diatur dalam UU Pers. Selanjutnya, kami juga mengasumsikan bahwa dua jenis perbuatan hukum yaitu pencemaran nama baik dan/atau berita bohong itu ada dalam konten berita yang disiarkan oleh pers.
Namun, ada tiga kesan soal subjek seseorang dan/atau badan hukum yang menjadi sasaran gugatan atau tuntutan atas pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong tersebut.
Apakah gugatan/tuntutan ditujukan kepada pers sebagai badan hukum yang menyiarkan berita?
Apakah gugatan/tuntutan ditujukan kepada wartawan sebagai orang yang bekerja membuat berita untuk pers?
Apakah gugatan/tuntutan ditujukan kepada orang dan/atau badan hukum yang menjadi narasumber berita?
Untuk menjawab hal tersebut, pertama-tama kami akan menjelaskan mengenai pengertian pers yaitu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ada dua kemungkinan jenis pers berdasarkan UU Pers[2] sebagai sarana pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong yang Anda maksud, yaitu:
media cetak;
media online (media elektronik).
Upaya Hukum Jika Pemberitaan Pers dan Wartawan Merugikan
Selanjutnya, hal yang harus menjadi perhatian bahwa konten berita yang disiarkan pers adalah produk kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya.[3]
Sejak UU Pers berlaku, seluruh kegiatan dan produk pers memiliki payung hukum khusus yang bisa mengecualikan berbagai ketentuan hukum yang umum. Asas lex specialis derogat legi generali berlaku dalam ketentuan hukum mengenai pers. Oleh karena pertanyaan Anda berkaitan dengan pers, maka pertanyaan Anda akan kami jawab dengan merujuk pada ketentuan dalam UU Pers.
UU Pers telah mengatur perkara yang berkaitan dengan keberatan atas pemberitaan pers yaitu dengan tiga upaya yaitu:[4]
Hak jawab yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.[5]
Hak koreksi yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.[6]
Pengaduan ke Dewan Pers apabila dua upaya sebelumnya tidak memberikan hasil yang memuaskan.[7]
Merujuk pada keterangan Dewan Pers, perbedaan antara hak jawab dan hak koreksi terletak wewenang pada pihak yang melakukannya. Hak jawab diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Sedangkan hak koreksi diberikan kepada setiap orang. Hak jawab berisi tanggapan atau sanggahan terhadap berita yang menyangkut langsung diri dari pihak yang dirugikan. Sementara, hak koreksi berisi koreksi dari siapa saja menyangkut informasi apapun yang dinilainya salah, terutama kekeliruan fakta dan data teknis.[8] Ketentuan lebih lanjut tentang cara mengajukan hak jawab diatur dengan Peraturan Dewan Pers 9/2008.
Jadi, apabila Anda merasa dirugikan atas suatu pemberitaan misalnya karena dianggap sebagai pencemaran nama baik atau berita bohong, upaya pertama yang bisa dilakukan adalah menggunakan hak jawab. Isi hak jawab akan ditayangkan secara proporsional oleh pers terkait dalam waktu secepatnya atau pada kesempatan pertama.[9]
Melayani hak jawab dan hak koreksi adalah kewajiban hukum bagi pers yang disertai ancaman pidana denda paling banyak Rp500 juta jika tidak melaksanakannya.[10] Artinya, persoalan hak jawab bukan hanya masalah etik tetapi juga masalah hukum.
Apabila hak jawab belum cukup memuaskan, Anda bisa mengadukan perkara pemberitaan yang merugikan itu kepada Dewan Pers. Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada yang ditunjuk Dewan Pers sebagai Ahli Dewan Pers,[11]Herlambang Perdana Wiratraman memberikan penjelasan tambahan tentang mekanisme pengaduan. Setiap pengaduan keberatan yang masuk ke Dewan Pers akan ditanggapi dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi. Isinya adalah saran penyelesaian yang diberikan Dewan Pers.[12] Ketentuan lebih lengkap tentang pengaduan ke Dewan Pers diatur dalam Peraturan Dewan Pers 01/2017.
Bisakah Menggugat atau Menuntut Pers dan Wartawan?
Menjawab pertanyaan Anda mengenai bisakah seseorang atau badan hukum menggugat atau menuntut pers, dapat kami sampaikan bahwa apabila pihak pengadu yang tidak puas dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi dari Dewan Pers, maka bisa melanjutkan pada mekanisme gugatan perdata. Namun, Herlambang mengatakan mekanisme gugatan perdata jarang terjadi karena pengadilan sejauh ini mengikuti mekanisme Dewan Pers.[13]
Adapun, berkaitan dengan tuntutan pidana, SEMA 13/2008 juga memberi pedoman agar pengadilan mendengar atau meminta keterangan ahli dari Dewan Pers dalam menangani delik pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers secara teori dan praktik.
Penting dicatat bahwa Dewan Pers telah memiliki nota kesepahaman dengan Polri[14] dan Kejaksaan Agung.[15] Isinya menegaskan kerja sama untuk menegakkan perkara hukum terkait kegiatan jurnalistik sesuai dengan UU Pers. Secara khusus disepakati bahwa laporan pidana ke kepolisian atas produk pers akan diarahkan untuk diselesaikan di Dewan Pers terlebih dahulu.[16]
Herlambang menegaskan bahwa sejauh ini berbagai upaya pemidanaan akibat produk pemberitaan pers hampir tidak pernah ditemukan lagi di Indonesia dan dunia.[17]
Namun, harus dipahami bahwa peluang untuk mengajukan gugatan atau tuntutan kepada pers maupun wartawan tetap ada. Hanya saja, Herlambang telah menegaskan jika berkaitan dengan produk pers yang telah memenuhi UU Pers kecil kemungkinan akan diproses oleh aparat penegak hukum.
Berkaitan dengan media online atau media elektronik yang juga terikat sebagai penyelenggara sistem elektronik berdasarkan UU ITE (dan perubahannya), Dewan Pers menilai pasal-pasal UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers sebagai karya jurnalistik yang sudah tegas dan jelas diatur dalam UU Pers. Pernyataan sikap itu disampaikan lewat Siaran Pers No. 25/SP/DP/XII/2023.
Dewan Pers merujuk pada Lampiran angka 3 huruf l SKB UU ITE bahwa untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan UU Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis bukan UU ITE. Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers.
Perlu diketahui pula bahwa Dewan Pers juga sudah menerbitkan pedoman khusus untuk media online yaitu Pedoman Pemberitaan Media Siber.
Bisakah Menggugat atau Menuntut Narasumber Berita?
Terakhir, mengenai kemungkinan gugatan atau tuntutan kepada narasumber berita yang diperkarakan, Putusan Kasasi MA No. 646 K/Pid.Sus/2019 pernah membebaskan narasumber berita yang didakwa atas penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE. Mahkamah Agung menilai bahwa (hal. 5):
…tidak dapat dinilai sebagai perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Jadi, pernyataan narasumber berita yang disiarkan media elektronik tidak bisa membuatnya dijerat delik pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong.
Lebih lanjut, Mahkamah Agung juga menilai (hal. 6):
Bahwa hasil wawancara Terdakwa dengan beberapa media karena sudah diolah menjadi berita sehingga termasuk karya jurnalistik, maka pertanggungjawabannya ada pada pengelola media yang bersangkutan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Artinya, dugaan pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong narasumber berita dalam hasil wawancara pemberitaan juga diakui sebagai produk pers yang tunduk pada mekanisme UU Pers.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Kami telah melakukan wawancara dengan Herlambang Perdana Wiratraman Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada sekaligus sebagai Ahli Dewan Pers pada Kamis, 21 Maret 2024, pukul 09.08 WIB.
[12] Kami telah melakukan wawancara dengan Herlambang Perdana Wiratraman Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada sekaligus sebagai Ahli Dewan Pers pada Kamis, 21 Maret 2024, pukul 09.08 WIB.
[13] Kami telah melakukan wawancara dengan Herlambang Perdana Wiratraman Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada sekaligus sebagai Ahli Dewan Pers pada Kamis, 21 Maret 2024, pukul 09.08 WIB.
[16] Pasal 4 ayat (2) Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Polri
[17] Kami telah melakukan wawancara dengan Herlambang Perdana Wiratraman Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada sekaligus sebagai Ahli Dewan Pers pada Kamis, 21 Maret 2024, pukul 09.08 WIB.