Bagaimana pengaturan mengenai dokter hewan di Indonesia? Apakah dapat dipersamakan dengan pengaturan mengenai dokter umum maupun dokter gigi? Jika saya sebagai pemilik hewan merasa dirugikan oleh dokter hewan, maka apa yang bisa saya lakukan?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Hubungan dokter hewan dengan pasien (hewan yang diwakili pemiliknya) merupakan suatu hubungan hukum perjanjian yakni perjanjian terapeutik. Dalam perjanjian terapeutik, titik tolak perjanjian adalah pada usaha dokter untuk merawat dan mengobati, dan bukan pada hasil. Secara sederhana, jika dikaitkan dengan malapraktik, yang dilihat tidak hanya hasil tindakan medis melainkan harus ditinjau pula bagaimana proses tindakan medis dilaksanakan.
Jadi, apabila terjadi akibat yang tidak dikehendaki, sepanjang dokter hewan telah berupaya sesuai dengan standar profesinya, hal tersebut tidak dapat serta-merta dikualifikasikan sebagai tindakan malapraktik.
Lantas, apa sanksi hukum jika dokter hewan malapraktik?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pada dasarnya, dasar hukum praktik kedokteran untuk melayani manusia adalah UU Kesehatan, sedangkan dasar hukum praktik kedokteran hewan diatur dalam beberapa ketentuan, antara lain:
Berdasarkan Pasal 1 angka 29 UU 41/2014, dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran hewan dan kewenangan medik veteriner dalam melaksanakan pelayanan kesehatan hewan. Adapun yang dimaksud dengan medik veteriner adalah penyelenggaraan kegiatan praktik kedokteran hewan.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kemudian, Tri Endah Ingtyas dalam bukunya Dokter Hewan dan Kematian Hewan (Kajian Hukum Kesehatan), menyebutkan bahwa dokter hewan adalah seorang yang memiliki kualifikasi dan otorisasi dalam melakukan praktik kedokteran hewan. Selain bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan, ia juga berperan dalam meningkatkan kesejahteraan hewan serta kesehatan masyarakat veteriner, sehingga dokter hewan adalah dokter khusus binatang/kedokteran hewan (hal. 1 dan 3).
Dengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran hewan, wajib memiliki sertifikat kompetensi, dan memiliki kewenangan medik veteriner dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan terhadap hewan.
Standardisasi Praktik Dokter Hewan
Sebagai sebuah profesi, tentu praktik dokter hewan terikat sebuah standardisasi praktik guna melindungi kepentingan konsumen serta profesi itu sendiri. Berkaitan dengan standardisasi praktik dokter hewan, terdapat dua istilah penting yang perlu Anda ketahui:
kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan pelindungan sumber daya hewan, kesehatan masyarakat, dan lingkungan serta penjaminan keamanan produk hewan, kesejahteraan hewan, dan peningkatan akses pasar untuk mendukung kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan asal hewan;[2]
kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.[3]
Dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU 18/2009, untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan, penempatan dan pengandangan, pemeliharaan dan perawatan, pengangkutan, pemotongan dan pembunuhan, serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.
Lalu, ketentuan mengenai kesejahteraan hewan tersebut dilakukan secara manusiawi yang meliputi salah satunya pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan.[4]
Kemudian, pada dasarnya setiap orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacar dan/atau tidak produktif, sebagaimana diatur dalam Pasal 66A ayat (1) UU 41/2014.
Selain itu, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (“PDHI”) dalam TAP Nomor 13/Kongres ke-18/PDHI/2018 menyatakan dalam pengambilan keputusan, dokter hewan senantiasa harus berpijak pada prinsip-prinsip fundamental profesi dengan mengedepankan:
keputusan yang profesional;
independensi;
kenetralan;
integritas;
objektivitas;
legislasi veteriner;
organisasi umum;
kebijakan mutu;
prosedur dan standar;
informasi, keluhan, dan naik banding;
dokumentasi;
introspeksi;
komunikasi;
sumber daya manusia dan keuangan.
Dokter hewan juga memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugasnya dengan hati yang tulus dan tidak bersikap sewenang-wenang terhadap hewan. Pelayanan kesehatan hewan yang dilakukan oleh dokter hewan haruslah sesuai dengan kode etik dokter hewan yang diatur dalam Bab III Pasal 22 s.d. Pasal 25 TAP Nomor 4/Kongres ke-19/PDHI/2022.
Sehingga, apabila ingin memberikan pelayanan medis terhadap hewan, maka perlu dilakukan pemeriksaan yang sesuai dengan prosedur. Kemudian, sebelum melakukan tindakan tersebut, dokter dan pasien pemilik hewan melakukan perjanjian terapeutik, yaitu kesepakatan yang dilakukan dalam rangka memberikan terapi yang menyangkut semua aspek kesehatan, mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.[5] Adapun tujuan diadakannya perjanjian terapeutik ini adalah untuk mencari atau menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter.[6]
Pengaturan hukum perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien mengacu pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian,[7] yaitu:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
Dalam melaksanakan tugasnya, menurut hemat kami, dokter hewan tentu harus mengupayakan yang terbaik dengan mengerahkan seluruh kemampuannya agar berjalan sesuai dengan kompetensi dan standar profesinya untuk menghindari tindakan malapraktik.
Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter), malapraktik adalah setiap tindakan medis yang dilakukan dokter atau orang-orang di bawah pengawasannya, atau penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya, baik dalam hal diagnosis, terapeutik dan manajemen penyakit yang dilakukan secara melanggar hukum, kepatutan, kesusilaan dan prinsip-prinsip profesional baik dilakukan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati yang menyebabkan salah tindak rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya yang menyebabkan dokter atau perawat harus bertanggung jawab (hal. 2-3).
Lalu, malapraktik menurut KBBI adalah praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik.
Sehingga dapat kami simpulkan bahwa tindakan malapraktik kedokteran adalah segala rangkaian tindakan dokter maupun orang yang ada di bawah perintahnya baik secara sengaja ataupun dalam kelalaian melakukan perbuatan praktik kedokteran kepada pasiennya (dalam hal ini hewan yang diwakili pemiliknya) yang melanggar standar profesi, standar prosedur, prinsip-prinsip profesional kedokteran baik aktif maupun pasif.
Termasuk juga di dalamnya tindakan melanggar hukum ataupun bertindak tanpa wewenang, tanpa informed consent, tanpa SIP (“Surat Izin Praktik”), tanpa STR (“Surat Tanda Registrasi”), atau tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, dengan menimbulkan kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, mental, dan atau nyawa pasien sehingga membentuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter.[8]
Jenis Pelanggaran Dokter Hewan
Dalam hal dokter hewan dianggap tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan kewajiban di atas, berikut adalah jenis pelanggaran dokter hewan:
Pelanggaran Kode Etik
Etika adalah nilai-nilai yang berlaku untuk sebuah profesi yang menjadi landasan bagi anggota profesi untuk berperilaku, bersikap atau bertindak saat menjalankan profesinya.
Kode etik dokter hewan diatur dalam Lampiran TAP Nomor 07/ Kongres Ke-16/PDHI/2010. Salah satu kewajiban dokter hewan dalam kode etik ini adalah memperlakukan pasien dengan penuh perhatian dan kasih sayang sebagaimana arti tersebut bagi pemiliknya, dan menggunakan segala pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya untuk kepentingan pasiennya.
Pelanggaran terhadap kode etik ini akan dikenai sanksi etik oleh Majelis Kehormatan Perhimpunan. Selain itu, majelis juga bertugas untuk menyelesaikan perselisihan antar sejawat dan masalah hukum yang dituduhkan ke dokter hewan sebagai kelalaian profesi (malapraktik).
Pelanggaran Hukum Perdata
Sebagaimana telah kami jelaskan, hubungan antara dokter hewan dengan pasien (hewan yang diwakili oleh pemiliknya) terjadi berdasarkan perjanjian terapeutik. Dengan demikian, jika dokter hewan tidak melaksanakan kewajibannya yakni apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang dokter hewan dan timbul kerugian bagi pasien, berlakulah Pasal 1239 KUH Perdata yang berbunyi:
Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.
Unsur-unsur yang harus dibuktikan telah terjadi wanprestasi pada Pasal 1239 KUH Perdata di atas adalah dokter hewan telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutik yang dibuktikan dengan adanya kesalahan atau kelalaian dokter.
Namun karena hubungan didasarkan perjanjian terapeutik, jika dikaitkan dengan malapraktik, yang dilihat tidak hanya hasil tindakan medis melainkan harus ditinjau pula bagaimana proses tindakan medis dilaksanakan.
Jadi, apabila terjadi akibat yang tidak dikehendaki, sepanjang dokter hewan telah berupaya sesuai dengan standar profesinya, hal tersebut tidak dapat serta-merta dikualifikasikan sebagai tindakan malapraktik.
Selain itu, dasar hukum untuk meminta ganti kerugian adalah Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) dalam Pasal 1365 KUH Perdata. PMH terjadi apabila dalam tindakan medis terdapat kesalahan yang menimbulkan akibat kerugian pada pasien. Berikut adalah bunyi Pasal 1365 KUH Perdata:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Hal ini karena prinsip umum ketentuan tersebut sama dengan PMH yang objek pasiennya adalah manusia, sebagaimana ditulis Widodo Tresno Novianto dalam bukunya berjudul Sengketa Medik Pergulatan Hukum dalam Menentukan Unsur Kelalaian Medik (hal. 95-96).
Menurut Widodo, apabila dikaitkan dengan pelaksanaan perjanjian terapeutik sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata, unsur-unsur melawan hukum yang harus dibuktikan adalah:
Apakah perawatan yang diberikan dokter cukup layak (a duty of due care)?
Adakah pelanggaran kewajiban (the breach of the duty)?
Apakah kelalaian itu benar-benar merupakan penyebab cedera? dan
Adanya kerugian (damages).
Salah satu doktrin penting yang dapat diajukan pemilik hewan untuk membuktikan kelalaian adalah didasarkan pada doktrin Res Ipsa Loquitur atau dalam Bahasa Inggris dapat diartikan ‘the thing speaks for itself’ atau ‘benda berbicara dengan sendirinya’, contohnya ditemukan kasa, atau gunting yang tertinggal di perut hewan pasca operasi.
Mengenai doktrin Res Ipsa Loquitur ini, Widodo menyebutkan beberapa syarat yaitu:
Harus ditunjukkan bahwa kejadian tidak dapat terjadi tanpa adanya kelalaian/kesengajaan dari pihak pelaku (dokter);
Harus ditunjukkan pula bahwa kerugian tidak ikut disebabkan oleh tindakan korban (dalam hal ini pemilik hewan) atau pihak ketiga;
Saat kejadian, instrumen yang menyebabkan kerugian berada dalam kontrol yang eksklusif dari pihak yang dituduh melakukan (dokter);
Penyebab kelalaian haruslah dalam lingkup kewajiban atau tanggung jawabnya (dokter); dan
Bahwa kesalahan bukan dari korban (tidak ada kelalaian kontributif dari pemilik hewan).
Pelanggaran Administrasi
Berdasarkan praktik kami, terdapat beberapa contoh perbuatan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban administrasi antara lain praktik tanpa SIP dan STR, tidak memuat rekam medis, mengambil langkah tindakan medis yang tidak sesuai lisensi yang dimiliki, ataupun melaksanakan praktik dengan menggunakan izin yang telah kedaluwarsa. Izin profesi/lisensi profesi menjadi penting karena perbuatan yang dilakukan seseorang dalam mengambil tindakan medis tidak dapat dibenarkan jika melebihi batas kewenangan yang telah ditentukan.
Setiap sanksi pelanggaran administratif yang dilakukan oleh dokter hewan telah termuat dalam Pasal 34 angka 18 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 85 ayat (2) UU 41/2014 yaitu:
peringatan secara tertulis;
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
pencabutan Perizinan Berusaha dan penarikan Obat Hewan, Pakan, Alat dan Mesin Peternakan, Alat dan Mesin Kesehatan Hewan, atau Produk Hewan dari peredaran;
pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
pengenaan denda.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Christiana Jullia Makasenggehe (et.al). Aspek Hukum Transaksi Terapeutik Antara Tenaga Medis dengan Pasien. Jurnal Lex Privatum, Vol. XII, No. 1, 2023;
Hendrojono Soewono. Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter dalam Transaksi Terapeutik. Jakarta: Srikandi, 2007;
Hermien Hadiati Koeswadji. Hukum Kedokteran Studi Tentang Hubungan dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998;
[5] Christiana Jullia Makasenggehe (et.al). Aspek Hukum Transaksi Terapeutik Antara Tenaga Medis dengan Pasien. Jurnal Lex Privatum, Vol. XII, No. 1, 2023, hal. 1
[6] Hermien Hadiati Koeswadji. Hukum Kedokteran Studi Tentang Hubungan dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 132
[7] Christiana Jullia Makasenggehe (et.al). Aspek Hukum Transaksi Terapeutik Antara Tenaga Medis dengan Pasien. Jurnal Lex Privatum, Vol. XII, No. 1, 2023, hal. 1
[8] Hendrojono Soewono. Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter dalam Transaksi Terapeutik. Jakarta: Srikandi, 2007, hal. 75