Keberlakuan SE Kapolri Hate Speech dan Dampak Hukumnya
PERTANYAAN
Apa benar gara-gara ada SE Kapolri tentang hate speech kita jadi harus hati-hati dalam bersosial-media atau saat berdemo?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Apa benar gara-gara ada SE Kapolri tentang hate speech kita jadi harus hati-hati dalam bersosial-media atau saat berdemo?
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Intisari:
SE Hate Speech pada dasarnya adalah petunjuk dan panduan bagi kepolisian di lapangan ketika terjadi dugaan ujaran kebencian (hate speech) yang berlaku internal bagi lingkungan Kepolisian RI. Tujuan Kapolri mengeluarkan SE Hate speech ini adalah untuk memberitahukan anggotanya agar memahami langkah-langkah penanganan perbuatan ujaran kebencian atau hate speech.
Sebelum SE Hate Speech terbit inipun ketentuan-ketentuan soal larangan berujar kebencian (seperti pencemaran nama baik misalnya) sebenarnya telah ada dan diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Inilah yang menjadi pedoman bagi masyarakat untuk berhati-hati dalam berekspresi, baik itu di pergaulan sehari-hari di sosial media maupun saat berdemo.
Namun, kita sebagai masyarakat juga dapat memanfaatkan SE Hate Speech ini sebagai dasar meminta anggota polisi untuk memediasi jika suatu saat kita terlibat dalam perbuatan dugaan ujaran kebencian.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Tujuan Diterbitkannya SE Hate Speech
Polri menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (“SE Hate Speech”). SE Hate Speech ini tengah menjadi perbincangan di masyarakat. Surat Edaran (“SE”) ini terdiri dari empat butir yang mengatur antara lain lingkup perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai hate speech dan tindak pidana yang berkaitan.
Pada dasarnya, jika kita telusuri, tujuan Kapolri mengeluarkan SE Hate speech ini adalah untuk memberitahukan anggotanya agar memahami langkah-langkah penanganan perbuatan ujaran kebencian atau hate speech.
Terkait ini, dalam artikel PERADI Luhut Imbau Kapolri Cabut SE Ujaran Kebencian, Luhut Pangaribuan menilai SE hanyalah petunjuk dan panduan bagi kepolisian di lapangan ketika terjadi dugaan ujaran kebencian. Keberadaan SE sejatinya tak mengubah apapun. Terlepas ada tidaknya SE, komitmen kepolisian sebagai penegak hukum dibutuhkan untuk menindak pihak-pihak yang menanamkan kebencian terhadap suku, ras dan agama tertentu.
Mencermati tujuan SE sebagai petunjuk dan panduan bagi anggota polri dalam penanganan kasus hate speeh ini kemudian mengingatkan kita pada bagaimana keberlakuan suatu SE itu? Apakah mengikat masyarakat secara umum?
Keberlakuan Surat Edaran
Dalam artikel Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan SE memang bukan peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking), melainkan sebuah peraturan kebijakan. SE masuk peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving).
Pandangan Bayu Dwi Anggono ini sejalan dengan sejumlah doktrin yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie, HAS Natabaya, HM Laica Marzuki, dan Philipus M. Hadjon. Surat-surat edaran selalu mereka masukkan sebagai contoh peraturan kebijakan. Bayu menjelaskan bahwa beleidsregel dan pseudo wetgeving adalah produk hukum yang isinya secara materil mengikat umum namun bukanlah peraturan perundang-undangan karena ketiadaan wewenang pembentuknya untuk membentuknya sebagai peraturan perundang-undangan.
Masih bersumber dari artikel yang sama, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) juga punya pandangan serupa. Lembaga pemerhati dan pembaharuan hukum ini berpendapat Surat Edaran bukan produk perundang-undangan, melainkan sebagai instrumen administratif yang bersifat internal. Surat Edaran ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
Dampak Hukum Diterbitkannya SE Hate Speech
Menyorot pertanyaan Anda soal keharusan kita berhati-hati saat berekspresi atau mengeluarkan pendapat di sosial media atau saat berdemo, memang pada dasarnya setiap orang dilarang mengungkapkan ekspresi berupa kebencian terhadap suku, ras dan agama tertentu.
Jadi, sebelum SE Hate Speech ini terbit pun ketentuan-ketentuan mengenai larangan berujar kebencian telah ada dan diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan ini juga telah disebut dalam SE Hate Speech di samping Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) (Pasal 156, Pasal 157) untuk menjerat pelaku dugaan ujaran kebencian.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah:
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) [Pasal 28 jo. Pasal 45 ayat (2)]
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 ttg Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ("UU 40/2008")(Pasal 16)
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 ttg Penanganan Konflik Sosial (“UU 7/2012”)
4. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 ttg Teknis Penanganan Konflik Sosial (“Perkapolri 8/2013”)
Selain itu, ada juga pasal-pasal dalam KUHP yang disebut dalam SE Hate Speech terkait penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian, yaitu Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Kedua pasal dalam KUHP ini dinilai tidak tepat jika dimasukkan ke dalam SE Hate Speech. Dalam artikel PERADI Luhut Imbau Kapolri Cabut SE Ujaran Kebencian, Mantan Menteri Hukum dan HAM yang kini menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan PERADI versi Luhut, Amir Syamsuddin berpandangan bahwa Pasal 310 dan 311 KUHP tidak tepat dijadikan jeratan terhadap mereka yang melakukan penyebaran kebencian.
Ini karena Pasal 310 dan Pasal 311 merupakan delik aduan yang bersifat ranah privat. Lagi pula, polisi tak akan dapat berbuat banyak sepanjang tak ada aduan dari pengadu. Menurut Amir, tidak ada yang berubah dengan dan tanpa SE itu. Kalau ada hate speech dapat dijerat dengan UU yang ada.
Bentuk-Bentuk Hate Speech
Bentuk-bentuk ujaran kebencian yang dimaksud SE Hate Speech ini dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP, yaitu:[1]
1. Penghinaan
2. Pencemaran nama baik
3. Penistaan
4. Perbuatan tidak menyenangkan
5. Memprovokasi
6. Menghasut
7. Penyebaran berita bohong
dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.
Polisi Harus Berpedoman pada SE
Salah satu pedoman atau panduan yang diberikan oleh Kapolri kepada anggotanya melalui SE Hate Speech ini adalah anggota Polri penting memiliki pemahaman dan pengetahuan atas bentuk-bentuk ujaran kebencian sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan sedini mungkin sebelum timbulnya tindak pidana sebagai akibat dari ujaran kebencian tersebut.[2]
Perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai ketentuan perundang-undangan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas dan menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan/atau penghilangan nyawa.[3]
Untuk menangani perbuatan ujaran kebencian agar tidak memunculkan tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial yang meluas, maka diperlukan langkah-langkah penanganan oleh anggota Polri sebagai berikut:[4]
1. Melakukan tindakan preventif
a. Setiap anggota polri agar memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk-bentuk ujaran kebencian yang timbul di masyarakat.
b. Setiap anggota polri agar lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala yang timbul di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana ujaran kebencian.
c. Setiap anggota Polri agar melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungan masing-masing terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
d. Setiap anggota Polri agar melaporkan kepada pimpinannya masing-masing atas situasi dan kondisi di lingkungannya terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
e. Dan kepada Kasatwil agar untuk melakukan kegiatan:
i. mengefektifkan dan mengedepankan fungsi intelijen untuk mengetahui kondisi riil di wilayah-wilayah yang rawan konflik terutama akibat hasutan-hasutan atau provokasi, untuk selanjutnya dilakukan pemetaan sebagai bagian dari early warning dan early detection;
ii. mengedepankan fungsi Binmas dan Polmas untuk melakukan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat mengenai ujaran kebencian dan dampak-dampak negatif yang akan terjadi;
iii. mengedepankan fungsi Binmas untuk melakukan kerja sama yang konstruktif dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan akademisi untuk optimalisasi tindakan represif atas ujaran kebencian;
iv. apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah pada tindak pidana ujaran kebencian maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan:
(1) memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat;
(2) melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian;
(3) mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian;
(4) mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai; dan
(5) memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.
2. Apabila tindakan preventif telah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah yang timbul akibat dari tindakan ujaran kebencian tersebut, maka penyelesaian dapat dilakukan melalui:
a. Penegakan hukum mengacu pada ketentuan KUHP, UU ITE, dan UU 40/2008.
b. Jika telah terjadi konflik sosial yang dilatarbelakangi ujaran kebencian, penanganannya tetap berpedoman pada UU 7/2012 dan Perkapolri 8/2013.
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, sebagaimana yang kami sebut di atas, keharusan kita berhati-hati saat berekspresi atau mengeluarkan pendapat di sosial media atau saat berdemo, memang pada dasarnya wajib dilakukan. Setiap orang dilarang mengungkapkan ekspresi berupa kebencian terhadap suku, ras dan agama tertentu.
Namun justru, masyarakat yang terlibat dalam perbuatan ujaran kebencian dapat memanfaatkan SE Hate Speech ini sebagai dasar meminta anggota Polri untuk memediasi atau mempertemukan pelaku dengan korban ujaran kebencian ini. Hal ini karena salah satu kewajiban anggota Polri apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah pada tindak pidana ujaran kebencian adalah mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban.[5]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial;
5. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial;
6. Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian.
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?