Akhir-akhir ini viral sebuah kasus tentang pastor Katolik yang dituding tiduri istri orang. Menurut berita yang beredar, pastor kepergok tiduri istri orang dengan kondisi berpelukan satu selimut. Adapun pastor/romo mengakui bahwa ia berada di kamar bersama perempuan tersebut hingga digerebek suaminya.
Pertanyaan saya, jika terbukti, apa jerat hukum yang dapat dikenakan terhadap romo yang tiduri istri orang?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pada intinya, jika pastor terbukti tiduri istri orang lain dan terdapat pengaduan atas perzinaan tersebut, maka pihak pastor dan istri orang dapat dijerat Pasal 284 KUHP atau Pasal 411 UU 1/2023 tentang KUHP baru.
Selain itu menurut Kitab Hukum Kanonik, pastor tersebut berpotensi dihukum dengan suspensi hingga dikeluarkan dari status klerikal dirinya.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pastor Agama Katolik
Berdasarkan informasi yang Anda berikan, pastor yang diduga tiduri istri orang lain adalah pastor dari agama Katolik. Pada dasarnya, seorang imam di agama Katolik disebut dengan pastor atau dengan panggilan romo. Gereja Katolik memiliki hukum di mana pastor tidak menikah seumur hidup. Hal tersebut dikenal dengan istilah hidup selibat atau “caecibatus” dalam bahasa Latin yang berarti “hidup tidak menikah”. Gereja Katolik Roma menuntut para imamnya untuk tidak menikah seumur hidup dan taat pada kemurnian pribadi dalam pikiran maupun dalam perbuatan.[1]
Lantas, apa hukumnya jika seorang pastor terbukti meniduri istri orang lain?
Pasal Perzinaan dalam KUHP
Untuk menjawab pertanyaan Anda tentang jerat hukum pastor yang diduga tiduri istri orang lain, kami akan sampaikan ketentuan dalam KUHP lama yang saat artikel ini terbit masih berlaku dan juga berdasarkan KUHP baru yaitu UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun setelah diundangkan.[2]
Pasal 284 KUHP
Pasal 411 UU 1/2023
Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[3]
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Unsur-unsur Pasal Perzinaan
Dari bunyi Pasal 284 KUHP di atas, terdapat beberapa unsur:
Salah satu pihak baik laki-laki atau perempuan harus telah terikat perkawinan secara sah (dalam ikatan perkawinan sah) sebagaimana diatur di dalam UU Perkawinan dan perubahannya;
Harus ada persetubuhan, yaitu masuknya kelamin laki-laki ke kelamin wanita atas dasar suka sama suka atau suka rela. Dengan demikian, persetubuhan atas dasar suka sama suka harus benar-benar terjadi (tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak);[4]
Harus ada pengaduan dari suami/istri yang tercemar sebagai korban atau pihak yang dirugikan.
Selain itu, delik tersebut merupakan delik aduan absolut, sehingga tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari suami/istri yang dirugikan. Menurut R. Soesilo, pengaduan ini tidak boleh dibelah. Misalnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa istrinya (B) telah berzina dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinaan dan C sebagai yang turut melakukan perzinaan, kedua-duanya harus dituntut.[5]
Dengan demikian dalam kasus ini, atas pengaduan pihak suami, jika pastor dan istri orang tersebut terbukti melakukan perzinaan, pihak pastor dan istri dapat dijerat pasal perzinaan.
Kemudian sebagai informasi, Pasal 27 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/ “BW”) yang disebut dalam Pasal 284 KUHP berbunyi sebagai berikut:
Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
Lebih lanjut, berdasarkan Penjelasan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023, yang dimaksud dengan “bukan suami atau istrinya” sebagaimana disebutkan di atas adalah:
laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.
Adapun yang dimaksud dengan “anaknya” dalam pasal ini adalah anak kandung yang sudah berumur 16 tahun.[6]
Selanjutnya, baik dalam Pasal 284 KUHP maupun Pasal 411 UU 1/2023, tindak pidana perzinaan baru dapat dituntut apabila ada pengaduan. Namun, pengaduan dalam KUHP baru berasal dari suami/istri bagi yang terikat perkawinan atau orang tua/anak bagi yang tidak terikat perkawinan. Lalu, pengaduan ini dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.[7]
Sebagaimana telah dijelaskan, Gereja Katolik menuntut para imamnya untuk tidak menikah seumur hidup dan taat pada kemurnian pribadi dalam pikiran maupun dalam perbuatan. Dengan demikian, imam Gereja Katolik tidak diperbolehkan untuk berzina atau melakukan hubungan seksual/persetubuhan.
Pada dasarnya, dalam Gereja Katolik terdapat Kitab Hukum Kanonik yang mengikat para imam. Kitab Hukum Kanonik adalah susunan atau kodifikasi peraturan kanonik untuk Gereja Latin dalam Gereja Katolik. Berdasarkan Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) Edisi Resmi Bahasa Indonesia yang kami kutip dari laman Gereja Katolik Keuskupan Surabaya, terdapat beberapa aturan (paragraf) yang dapat dikenakan terhadap pastor yang terbukti melakukan perzinaan:
Kan. 1395
§ 1. Klerikus yang berkonkubinat, selain kasus yang disebut dalam kan. 1394,
dan klerikus yang tetap berada dalam dosa lahiriah lain melawan perintah keenam dari Dekalog dengan memberikan sandungan, hendaknya dihukum dengan suspensi; jika sesudah diperingatkan, tindak pidana masih berjalan terus, secara bertahap dapat ditambah dengan hukuman-hukuman lain sampai dikeluarkan dari status klerikal.
§ 2. Klerikus yang melakukan kejahatan lain melawan perintah keenam dari Dekalog, apabila tindak pidana itu dilakukan dengan paksaan atau ancaman atau secara publik atau dengan anak di bawah umur enam belas tahun, hendaknya dihukum dengan hukuman-hukuman lain yang adil, tak terkecuali, jika perlu, dikeluarkan dari status klerikal.
Berdasarkan peraturan di atas, klerikus (pendeta) yang berkonkubinat (seorang laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa perkawinan atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan tetap untuk melakukan persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam satu rumah)[8], dan klerikus yang melawan perintah keenam dekalog, berpotensi dihukum dengan suspensi hingga dikeluarkan dari status klerikal dirinya.
Adapun perintah keenam dari dekalog (10 Perintah Allah) diatur dalam Kitab Keluaran 20:1-21 yang berbunyi “jangan berzinah”.[9]
Bernhard I. M. Supit. Pembatalan Nikah menurut Hukum Kanonik dalam Hubungannya dengan Sistem Perundang-Undangan di Indonesia. Lex Privatum, Vol. 3, No. 1, 2015;
Nur Fitriyana. Selibat dalam Paham Keagamaan Gereja Katolik. Jurnal Ilmu Agama, Vol. 14, No. 2, 2013;
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991;
Tim Komisi Kateketik Regio Jawa. Pendampingan Iman Katolik Anak Usia Dini: Formatio Iman Berjenjang. Yogyakarta: PT Kanisius, 2019;
[8] Bernhard I. M. Supit. Pembatalan Nikah menurut Hukum Kanonik dalam Hubungannya dengan Sistem Perundang-Undangan di Indonesia. Lex Privatum, Vol. 3, No. 1, 2015, hal. 14
[9] Tim Komisi Kateketik Regio Jawa. Pendampingan Iman Katolik Anak Usia Dini: Formatio Iman Berjenjang. Yogyakarta: PT Kanisius, 2019, hal. 14