Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata ā mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pembatalan Perkawinan
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.[1] Adapun syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.[2]
Persyaratan ini ada dikarenakan perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.[3]
Mengacu pada keterangan Anda, adanya unsur paksaan mengindikasikan bahwa Anda tidak menyetujui perkawinan tersebut. Kemudian mengenai syarat pembatalan perkawinan dan alasan pembatalan perkawinan sebagaimana dimuat dalam Pasal 27 UU Perkawinan dan Pasal 71 KHI yang Anda sebutkan, berikut bunyi selengkapnya :
Pasal 27 UU Perkawinan
(1)Ā Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)Ā Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3)Ā Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 71 KHI
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
- seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama;
- perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;
- perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
- perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974;
- perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
- perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Ini berarti salah sangka dan paksaan memang dapat menjadi alasan pembatalan perkawinan. Namun sayangnya, pasal-pasal ini tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud āpaksaanā maupun āsalah sangkaā yang dimaksud.
Sehubungan dengan ini, H. Abdul Manan dalam buku Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (hal.66ā67) menjelaskan bahwa biasanya penipuan itu dilakukan dalam bentuk pemalsuan identitas, misalnya mengaku perjaka padahal sudah pernah menikah. Penipuan bisa dilakukan suami, bisa pula oleh istri.
Anda dapat saja menggunakan alasan āsalah sangkaā yaitu salah sangka terhadap istri Anda mengenai kehamilan yang semula dikira anak Anda padahal ternyata bukan sebagai alasan pembatalan perkawinan. Namun, Anda perlu memperkuat alat bukti tentang hal tersebut itu.
Prosedur Pembatalan Perkawinan
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:[4]
- Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
- Suami atau istri;
- Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
- Pejabat yang dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.[5] Atau, bagi penganut agama Islam diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.[6]
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.[7]
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus soal pembatalan perkawinan karena alasan salah sangka mengenai diri suami atau istri dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Agama Tarakan Nomor 0216/Pdt.G/2015/PA Trk. Pemohon adalah suami dari termohon yang meminta pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama Tarakan. Pemohon ingin membatalkan pernikahannya yang berlangsung pada 26 Februari 2015 di KUA Tarakan Timur karena pemohon merasa ditipu oleh termohon, disebabkan termohon sudah dalam keadaan hamil tiga bulan saat menikah dengan pemohon dan hal tersebut pemohon ketahui sehari setelah resepsi pernikahan dan termohon mengakui kepada pemohon kalau termohon menikahi pemohon hanya untuk menutup aib.
Akhirnya, berdasarkan fakta-fakta tersebut, hakim menimbang dan memutus bahwa permohonan pembatalan nikah yang diajukan pemohon telah memenuhi unsur salah sangka sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan.
Demikian jawaban dari kami terkait pembatalan perkawinan karena merasa tertipu setelah menikahi wanita hamil, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Referensi:
H. Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Putusan:
Putusan Pengadilan Agama Tarakan Nomor 0216/Pdt.G/2015/PA Trk.