Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Penggusuran Paksa
Forced eviction is “the permanent or temporary removal against their will of individuals, families and/or communities from the homes and/or land which they occupy, without the provision of, and access to, appropriate forms of legal or other protection.
Apabila diterjemahkan secara bebas, penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.
Selain itu, Pasal 28H ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (“UUD 1945”) menerangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Apabila uraian-uraian di atas dibaca secara komprehensif, menurut hemat kami, penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”). Hal ini juga dikuatkan dalam Poin Pertama
Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang bahkan menyebut bahwa penggusuran paksa adalah “
gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat.
Langkah Hukum terhadap Penggusuran Paksa
uang;
tanah pengganti;
permukiman kembali;
kepemilikan saham; atau
bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Sayangnya, tidak ada ketentuan pidana yang secara khusus diatur dalam UU 2/2012 yang dapat menjerat pemerintah jika tidak menaati ketentuan dalam UU 2/2012. Maka apabila penggusuran dilakukan tanpa ganti kerugian, menurut hemat kami, Anda dapat menggugat pemerintah secara perdata atas perbuatan melawan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yang berbunyi:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Munir Fuady dalam buku Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer (hal. 11) menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum, salah satunya, adalah perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini yang dilanggar adalah UU 2/2012.
Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Gugatan perwakilan kelompok dapat diajukan dengan ketentuan tertentu, yaitu:
[3]Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;
Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;
Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya; dan
Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Contoh Kasus
Dalam putusan banding dijelaskan bahwa Pembanding digugat melalui gugatan perwakilan kelompok (hal. 1). Para Terbanding (Para Penggugat) merupakan pemilik tanah dan bangunan di daerah Tebet, Jakarta Selatan (hal. 19). Tanah dan bangunan tersebut telah dan terhadap sisanya akan segera dihancurkan dan diambil secara paksa serta melawan hukum (hal. 19).
Atas perbuatan tersebut Para Tergugat telah dan akan mengalami kerugian materiil dan imateriil dan tidak mendapatkan ganti kerugian (hal. 1 – 13). Gugatan tersebut didasarkan atas Pasal 1365 KUH Perdata terkait pelanggaran terhadap kewajiban yang tercantum dalam undang-undang yang berlaku, di antaranya UUD 1945 dan UU 11/2005 (hal. 20 – 21, 62 & 65).
Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan kembali Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan perwakilan sebagian dan membebankan Tergugat I hingga Tergugat IX untuk membayar ganti kerugian kepada (hal. 109 & 113):
Penggugat I: berjumlah 19 orang dan masing-masing mendapatkan ganti kerugian sebesar Rp200 juta;
Penggugat II mendapatkan ganti kerugian sebesar Rp200 juta;
Penggugat III: berjumlah 55 orang dan masing-masing mendapatkan ganti kerugian sebesar Rp200 juta; dan
Penggugat IV: berjumlah 18 orang dan masing-masing mendapatkan ganti kerugian sebesar Rp200 juta.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik Hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Munir Fuady. Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2013.
Putusan:
[1] Pasal 1 angka 2 UU 2/2012