Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pada dasarnya, menggunakan nama orang lain tanpa hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum adalah perbuatan yang tidak dibenarkan, baik oleh undang-undang maupun kebiasaan di tengah masyarakat. “D” teman wanita dari korban dan/atau korban berhak melaporkan atas penggunaan nama palsu yang dilakukan oleh pelaku tanpa hak.
Merujuk pada kronologi yang dipaparkan, kami akan memberikan jawaban secara normatif berdasarkan peratuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Memakai Nama Palsu
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal. 261), yang dimaksud dengan nama palsu yaitu nama yang bukan namanya sendiri. Nama “Saimin” dikatakan “Zaimin” itu bukan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis, itu dianggap sebagai menyebut nama palsu.
Dari kronologi yang Anda paparkan, pelaku telah memenuhi beberapa unsur Pasal 378 KUHP, diantaranya memakai nama palsu, rangkaian perkataan bohong, dan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu dalam hal ini berupa rekaman video dan foto. Dengan demikian, perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan.
Tindak Pidana Pornografi
Dalam rangkaian perbuatan penipuan yang dilakukan pelaku, terdapat konten yang memuat pornografi dan melanggar kesusilaan. Ketentuan mengenai pornografi dapat dilihat dalam
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”) sebagai
lex specialis (aturan khusus) dari KUHP. Pasal 1 ayat (1) UU Pornografi berbunyi:
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Lebih jauh, muatan pornografi dijabarkan secara eksplisit dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi yang berbunyi:
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
kekerasan seksual;
masturbasi atau onani;
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
alat kelamin; atau
pornografi anak.
Merujuk pada kronologi kasus yang Anda paparkan, bahwa pelaku mengirimkan foto payudara yang seolah-olah adalah payudaranya dan meminta korban untuk memperlihatkan payudaranya melalui media komunikasi Whatsapp, larangan dan ketentuan pidananya dapat dilihat pada Pasal 35 UU Pornografi:
Pasal 35 UU Pornografi
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Sementara itu, orang yang notabene menjadi objek dalam gambar bergerak/video maupun foto yang bemuatan pornografi dapat dijerat dengan Pasal 34 UU Pornografi:
Pasal 34 UU Pornografi
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Namun jika korban dapat membuktikan bahwa pada saat membuat konten yang bermuatan pornografi ia dibohongi dan ditipu oleh pelaku, maka ia tidak dapat dikenakan pidana. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 8 UU Pornografi:
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.
Jerat UU ITE
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Adapun mengenai larangan dan ketentuan pidana transmisi konten pornografi termuat dalam Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) alinea dua UU 19/2016 dijelaskan bahwa:
Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik.
Pentingnya Penilaian Actus Reus dan Mens Rea
Perlu diketahui bahwa Pasal 45 ayat (1) ini berpotensi dapat menjerat pelaku dan korban sekaligus. Hal ini mengingat dalam UU ITE tidak ada penjelasan mengenai pengecualian terhadap korban penipuan seperti pada UU Pornografi.
Namun dalam ilmu hukum pidana, terdapat syarat pemidanaan yaitu perbuatan pidana (actus reus) yang merujuk pada pemenuhan unsur delik, serta kondisi batin atau niat pelaku saat melakukan tindak pidana (mens rea). Tidak terpenuhinya salah satu syarat pemidanaan akan berakibat pada putusan lepas atau pun putusan bebas. Hal inilah yang mungkin meringankan posisi korban.
Meskipun demikian, tahap penyelidikan dalam prosedur penegakan hukum biasanya lebih menekankan dan melihat dari segi actus reus atau perbuatan sesuai unsur pasal untuk dijadikan sebagai dasar pemeriksaan lanjutan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaku yang memakai nama palsu tanpa hak dan mentransmisikan konten dengan muatan pornografi melalui media komunikasi Whatsapp dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP, Pasal 35 UU Pornografi, dan Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Politeia: Bogor, 1994.