Apakah pelanggaran HAM berat di masa lalu dapat diadili? Jika bisa, bagaimana proses untuk bisa mengadili pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pelanggaran hak asasi manusia (“HAM”) yang berat menurut UU HAM adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Sementara itu, dalam UU Pengadilan HAM pengertian pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kasus pelanggaran HAM berat, baik sebelum maupun sesudah diundangkannya UU Pengadilan HAM, dapat diadili melalui pengadilan HAM ad hoc dan pengadilan HAM. Namun, khusus pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, dilakukan atas usul DPR dengan keputusan presiden.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Prosedur Penuntutan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada 4 Januari 2013.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pelanggaran HAM Berat
Pengertian mengenai pelanggaran hak asasi manusia (“HAM”) yang berat menurut Penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU HAM adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Sementara itu, dalam UU Pengadilan HAM pengertian pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[1]
Adapun, pengertian dari kejahatan genosida menurut Pasal 8 UU Pengadilan HAM adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
membunuh anggota kelompok;
mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan, pengertian dari kejahatan terhadap kemanusiaan menurut Pasal 9 UU Pengadilan HAM adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
pembunuhan;
pemusnahan;
perbudakan;
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
penyiksaan;
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
penghilangan orang secara paksa; atau
kejahatan apartheid.
Patut dicatat bahwa yang dimaksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” dalam pengertian kejahatan kemanusiaan adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.[2]
Jenis pelanggaran HAM yang berat dalam UU Pengadilan HAM tersebut mengacu pada Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma.[3] Namun, meskipun ketentuan mengenai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU Pengadilan HAM mengadopsi dari ketentuan Statuta Roma, Indonesia hingga saat ini belum menjadi negara pihak dari International Criminal Court (ICC).[4]
Contoh Kasus Pelanggaran HAM yang Berat
Di Indonesia, apa contoh pelanggaran HAM berat? Contoh kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yaitu pelanggaran HAM di Timor-Timur pra dan pasca jajak pendapat tahun 1999, pelanggaran HAM di Tanjung Priok tahun 1984, pelanggaran HAM di Papua (Abepura) tahun 2000, pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II tahun 1998, pelanggaran HAM peristiwa kerusuhan Mei 1998, serta pelanggaran HAM di Wasior dan Wamena tahun 2001 – 2003.[5]
Dari beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu tersebut, pelanggaran HAM di Timor-Timur dan Tanjung Priok telah diputus oleh pengadilan HAM ad hoc. Sementara sisanya, hasil penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”) telah diserahkan kepada kejaksaan agung[6] namun hingga artikel ini diterbitkan pengadilan HAM ad hoc belum dibentuk untuk mengadili kasus tersebut.
Lantas, bagaimana proses untuk mengadili suatu kasus pelanggaran HAM yang berat? Berikut kami akan menjelaskan tahapannya.
Proses untuk Mengadili Pelaku Pelanggaran HAM Berat
Sebelumnya, perlu kami sampaikan bahwa hukum acara dalam perkara pelanggaran HAM yang berat adalah berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, yang dalam hal ini adalah KUHAP, kecuali ditentukan lain di dalam UU Pengadilan HAM.[7]
Adapun tahapan untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat adalah sebagai berikut:
Penyelidikan
Jika terjadi pelanggaran HAM yang berat, menurut Pasal 18 UU Pengadilan HAM, dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM. Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat yaitu tokoh dan anggota masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi, dan menghayati di bidang HAM.[8]
Jika Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan tersebut disampaikan kepada penyidik, yaitu jaksa agung, dalam waktu maksimal 7 hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan.[9]
Adapun yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM yang berat.[10]
Jika penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan masih kurang lengkap, maka penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan dan kekurangan tersebut wajib dilengkapi oleh penyelidik.[11]
Penyidikan
Jaksa agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas pemerintah dan atau masyarakat yang terdiri atas organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga kemasyarakatan lain seperti perguruan tinggi.[12]
Selanjutnya, penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik dan dapat diperpanjang maksimal 90 hari oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Jika jangka waktu tersebut habis dan penyidikan belum diselesaikan, maka dapat diperpanjang maksimal 60 hari oleh ketua pengadilan HAM.[13]
Apabila selama jangka waktu tersebut dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (“SP3”) oleh jaksa agung. Namun, penyidikan dapat dibuka kembali dan dilanjutkan hanya jika terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan.[14]
Terhadap SP3 yang dikeluarkan oleh jaksa agung, dapat diajukan praperadilan kepada ketua pengadilan HAM oleh korban atau keluarganya yaitu keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.[15]
Penuntutan
Penuntutan dilakukan oleh jaksa agung, yang dalam pelaksanaan tugasnya dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan/atau masyarakat.[16]Penuntutan wajib dilaksanakan paling lambat 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.[17]
Dalam hal ini, Komnas HAM sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada jaksa agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat.[18]
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Perkara pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 hari sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan HAM.[19] Putusan pengadilan HAM tersebut dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.[20]
Mengadili Kasus Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu
Namun demikian, perlu dicatat bahwa pengadilan HAM hanya mengadili pelanggaran HAM berat setelah tahun 2000 yaitu setelah diundangkannya UU Pengadilan HAM. Lantas, siapakah yang mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000? Yaitu pengadilan HAM ad hoc.
Pengadilan HAM ad hoc berwenang memeriksa dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM. Pengadilan HAM ad hoc ini berada di lingkungan peradilan umum dan dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.[21]
Dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, DPR mendasarkan pada telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM.[22]
Adapun terkait dengan alur atau mekanisme pembentukan pengadilan HAM ad hoc tidak diatur secara jelas di dalam UU Pengadilan HAM. Namun, berdasarkan pengalaman pembentukan pengadilan HAM ad hoc pada kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok, alurnya adalah sebagai berikut:[23]
Penyelidikan oleh Komnas HAM mengenai adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat masa lalu;
Hasil penyelidikan diserahkan kepada kejaksaan agung dan dilakukan penyidikan;
Hasil penyidikan oleh kejaksaan agung diserahkan ke presiden;
Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan surat rekomendasi kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempos dan locus delicti tertentu;
Presiden mengeluarkan keputusan presiden tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
Dengan demikian, pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan mengadili peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, bergantung kepada DPR dan presiden. Artinya political will dari DPR dan presiden sangat menentukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dengan pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
Sebagai tambahan informasi, selain melalui mekanisme yudisial, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu juga dilakukan melalui mekanisme non-yudisial. Hal ini termaktub di dalam Keppres 17/2022 tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM yang berat di masa lalu (“PPHAM”).
Pasal 3 Keppres 17/2022 memberikan tugas kepada tim PPHAM untuk:
melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM yang berat di masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM sampai dengan tahun 2020;
merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya; dan
merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM yang berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
Tim PPHAM ini kemudian memberikan 11 rekomendasi kepada presiden untuk mengambil beberapa tindakan di antaranya menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, melakukan pendataan kembali korban, memulihkan hak korban, dan lainnya. Selengkapnya dapat Anda baca dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Deputi Bidkoor Hukum dan HAM tahun 2022 (hal. 22 – 23).
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.